Kamis, 18 Juli 2013



MENGUPAS CERITA ISRA’ILIYYAT
Oleh: A. Shodiq Wijaya Al Madury, Ma’had Aly I, MUS

PENGANTAR:
Sejarah merupakan suatu hal yang sangat urgen untuk dipelajari. Karena dengan sejarah, kita bisa mengetahui biografi serta perjalanan hidup orang-orang terdahulu, baik yang telah mencapai kesuksesan atau malah sebaliknya. Sehingga dengan ini bisa mengambil pelajaran (i’tibar) dari sejarah tersebut, serta meneladani perilaku baik mereka dan menjauhi kejelekan mereka. Hal ini disinggung dalam Al-Qur’an surat Yusuf:
لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ.                                                                                                
Artinya : "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal." ( QS Yusuf : 111 )            
Lantas, sejarah semacam apa yang perlu dan layak kita ketahui? Apakah sejarah yang mengandung fiktif, atau yang bagaimana? Lalu bagaimana kalau kita membaca sejarah Isro’iliyyat yang kontroversial  di kalangan ulama’, bolehkah kita mengkomsumsi serta mempelajarinya? Dalam kesempatan ini, kami ingin mencoba mengupas sejarah Isro’i-liyyyat. Apa Isro’iliyyat itu? Bagaimana Isro’iliyyat itu tumbuh subur di kalangan umat Islam dan banyak dijumpai di sendi-sendi kutub at-tafsir?
Isro’iliyyat adalah kisah tentang umat terdahulu dan para nabi sebelum nabi Muhammad diutus. Sejarah itu hanya ditemukan dalam kitab Taurat dan Injil yang masih orisinil (belum mengalami distorsi serta penambahan dari para pendeta). Di kedua kitab ini, Isro’iliyyat diterangkan begitu jelas dan lengkap, berbeda dengan Al-Qur’an yang terkadang hanya menyebutkan secara global. Dan sejarah ini biasanya diceritakan oleh orang-orang Yahudi yang masuk Islam.
Sejarah Munculnya Cerita Isro’iliyyat Dalam Kutub At-Tafsir.
Bangsa Arab adalah bangsa yang mayoritas penduduknya minim pengetahuan, dengan kata lain ummy. Kehidupan mereka seperti ini disinggung oleh Al-Qur’an dalam surat Al-Jumu’ah:
هوالذى بعث فى الأمّيّين رسولاً منهم يتلوا عليهم آياته ويزكّيهم ويعلّمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين.
"Dialah yang mengutus kepada  kaum  yang buta huruf, seorang rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (As-sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Qs Al-Jumuah: 2)
Kondisi orang Arab yang demikian ini, sangat kontras dengan kondisi ahli kitab yang saat itu hidup di tengah-tengah mereka. Di kalangan ahli kitab banyak yang memiliki wawasan dan pengetahuan, lebih-lebih yang menyangkut sejarah umat terdahulu serta sejarah para nabi. Hal ini dikarenakan mereka memiliki warisan kitab yang telah disampaikan secara turun temurun oleh para nabi serta ulama sebelum mereka. Namun pengetahuan yang mereka miliki ini tidaklah begitu mendalam seperti pendeta dan rahib-rahibnya. Mereka hanya memiliki pengetahuan selayaknya orang awam dalam bidang ini. Sebagian besar dari mereka yang memiliki pengetahuan seperti di atas, adalah kabilah Humair, yang memeluk agama Yahudi. Namun setelah munculnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad di tengah-tengah kebodohan orang Arab, banyak dari kalangan mereka yang mengikuti ajaran baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad, terlebih ketika Nabi hijrah ke Madinah. Di sana beliau mendapat sambutan hangat dan diterima dengan lapang dada oleh penduduk Madinah, sampai pada akhirnya banyak dari ahli kitab yang tunduk mengikuti agaran beliau, terlebih orang Yahudi, karena di Madinah kebanyakab didominasi oleh orang Yahudi ketimbang orang Nasrani.
Nabi Muhammad sebagai utusan Allah (Rasulullah) tidak berbeda dengan para utusan sebelumnya, yakni sama-sama mendapatkan wahyu (yang berupa Al-Quran). Bahkan wahyu yang diterima beliau justru merupakan mukjizat paling agung, yang tidak mampu ditandingi orang-orang kafir yang mendustakannya. Orang Arab yang semula adalah penduduk yang mayoritas ortodoks dan terbelakang, kini dengan hadirnya Nabi Muhammad dengan ajarannya serta Al Qur’an, berubah drastis menjadi penduduk yang maju serta memiliki wawasan luas dan pengetahuan yang dalam. Berangkat dari Al Qur’an, mereka belajar untuk maju, dengan memahami kandungan makna yang tersirat di dalamnya. Sehingga tidak heran, jika setelah itu di kalangan sahabat dan kurun setelahnya banyak ditemukan ahli tafsir. Namun ketika merasa kesulitan memahami Al Qur’an saat menjumpai ayat yang berkaitan dengan kisah umat terdahulu dan para nabi sebelum Nabi Muhammad, seperti kisah Ashabul kahfi, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dll (karena dalam Al Qur’an, kisah itu diceritakan secara global, tidak seperti dalam kitab Taurat dan Injil). Banyak dari mereka bertanya kepada ulama’ ahli kitab yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al Ahbar, Wahb bin Munabbih dll. Sejak itulah banyak mufassir yang memasukkan cerita-cerita Isra’iliyyat di dalam tafsir mereka, tanpa diteliti terlebih dahulu apakah cerita itu fakta atau fiktif? Mereka hanya berpegang terhadap apa yang disampaikan ahli kitab.
Menyikapi Hadits Nabi Tentang Isra’iliyyat         
Dalam hadits Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
لاتصدّقوه ولاتكذّبوه وقولوا آمنّا بالله وما أنزل إلينا (رواه البخاري )
"Janganlah kalian membenarkan atau mendustakan (cerita ahli kitab), dan katakanlah: aku beriman kepada Allah serta kitab yang diturunkan-Nya kepada kami." (HR.Bukhori).
Sepenggal arti hadits di atas, mengindikasikan bahwa Rasululloh melarang para sahabatnya dalam mengadopsi apa-apa yang dibawa oleh ahIi kitab, menyangkut pengetahuan yang mereka pelajari dari kitab. Namun Rasulullah tidak langsung menegaskan bahwa apa yang diceritakan oleh ahli kitab adalah suatu kebohongan atau kebenaran. Dalam hal ini, sebagian ulama’ menanggapi bahwa larangan beliau kepada sahabatnya itu dimungkinkan beberapa faktor, yang diantaranya adalah:
1. Rasulullah menghawatirkan terjadinya fitnah di kalangan sahabat, karena saat itu syari’at Islam masih belum sempurna. Sehingga dikhawatirkan terjadinya percampuran antara syari’at Islam dengan syari’at ahli kitab yang telah dinasakh dengan terutusnya Nabi.
2. Bahwa kitab-kitab yang berada di tangan mereka adalah kitab yang masih diragukan keasliannya, karena kitab tersebut sudah mengalami perubahan yang dilakukan oleh para pendeta-pedeta mereka dengan menyisipkan berbagai ajaran yang sebenarnya tidak ada dalam kitab aslinya. Semua itu mereka lakukan dengan motif ingin mendapatkan keuntungan dunia semata. Oleh karena itu, wajarlah jika Nabi melarang para sahabatnya untuk mengadopsi dan menyampaikan berita yang didapat dari ahli kitab.
Dalam hadits lain, Nabi bersabda:
بلّغوا عنّي ولو آية, وحدّثوا عن بني إسرائيل ولاحرج......الحديث (رواه البخارى)
Hadits di atas mengimplikasikan bahwa Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk mengadopsi atau menceritakan segala yang datang dari Bani Israil (Yahudi). Sebenarnya, hadits ini tidak bertentangan dengan hadits pertama, dikarenakan hadits yang pertama menurut para ulama’, larangan Nabi saw disebabkan adanya faktor-faktor tertentu, seperti yang dijelaskan di atas. Sedangkan dalam hadits kedua ini, Nabi memperbolehkan (mengambil cerita Bani Israil) karena kondisi sahabat pada saat Nabi menyampaikan hadits ini berbeda dengan kondisi mereka saat menyampaikan hadits yang pertama. Yakni, saat penyampaian hadits ini syari’at Islam sudah sempurna dan tidak dimungkinkan terjadinya fitnah. Namun, kebolehan menyampaikan cerita isra’iliyyat ini selama tidak nyata kebohonganya. Dengan demikian, jelas sudah, bahwa antara kedua hadits ini tidak terdapat pertentangan satu sama lain.
Respon Sahabat Terhadap Cerita Isra’iliyyat      
Ibnu Abbas serta sahabat lainnya, sering kali berinteraksi dengan orang-orang Yahudi yang masuk Islam. Kadang-kadang mereka bertanya kepada para tokoh Yahudi mengenai permasalahan yang tidak bersingungan dengan akidah dan ajaran-ajaran agama.  Mereka hanya bertanya sebatas cerita umat terdahulu yang diterangkan dalam kitab mereka. Akan tetapi, walaupun mereka bertanya, kalau sudah mendapatkan tanggapan dan jawaban, tidak lantas menerima begitu saja jawaban tersebut, sehingga disesuaikan dengan akal dan agama, baru mereka ambil. Sebaliknya jika tidak sesuai dengan akal dan agama, jawaban itu  mereka abaikan begitu saja.
Sikap Tabi’in Periode Setelahnya Terhadap Isra’illiyyat
Pada periode tabi’in banyak ahli kitab yang telah masuk Islam, tidak seperti pada periode sahabat. Pergaulan dan interaksi antara mereka hal yang langka, karena justru dengan itulah terbentuk citra persatuan umat Islam. Di dalam pergaulan sehari-hari, saling bertanya adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Kondisi tabi’in saat itu tidak sama dengan kondisi sahabat. Lebih-lebih periode setelah tabi’in. Kecenderungan mereka terhadap cerita Isra’iliyyat sangat besar sekali, sehingga mereka selalu bertanya tentang suatu hal yang berkaitan dengan cerita Isra’iliyyat yang ada dalam Al Quran dan mereka langsung menampung jawaban itu tanpa meneliti terlebih dahulu terhadap keabsahan jawaban itu sendiri. Sehingga banyaklah penafsiran-penafsiran Al Quran dengan cerita Isra’iliyyat yang mereka kutip langsung dari orang-orang ahli kitab.
Klasifikasi Isra’iliyyat
Sesungguhnya, Isra’iliyyat sama halnya dengan kisah-kisah lainnya. Yakni, tidak semua isra’liyyat itu mengandung kebohongan dan tidak semua Isra’iliyyat itu benar. Oleh karena itu, kami di sini kami akan paparkan pembagian Israiliyyat, Isra’iliyyat terbagi menjadi tiga bagian :
1.           Isra’iliyyat yang dipastikan keabsahannya, yaitu Isra’iliyyat yang sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Seperti kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang di jelaskan dalam kitab Bukhori.
2.           Isra’iliyyat yang dipastikan kebohongannya. Yaitu Isra’iliyyat yang bertolak belakang dengan Al Quran dan hadits.
3.           Isra’iliyyat yang masih dimungkinkan benar dan bohong, dikarenakan tidak adanya dalil yang menunjukkan pada salah satu dari keduanya.
Pembawa Isra’iliyyat Ke Dalam Islam
Isra’iliyyat banyak diceritakan oleh empat orang yang sebelum masuk islam mereka adalah ulama’ orang-orang Yahudi. Mereka adalah Abdullah bin Salam, Ka’ab al Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdullah bin Malik. Namun, dari keempat orang inilah, cerita Isra’iliyyat banyak diriwayatkan. Mereka adalah orang-orang yang tidak diragukan lagi kualitas keilmuannya. Tapi, itu semua tidak bisa melepas kontroversi ulama’ menyikapi keempat orang tersebut, apakah mereka tergolong orang yang bisa diterima riwayatnya atau tidak? Terlebih pada yang bernama Ka’ab al Ahbar dan Wahb bin Munabbih. Wallahua'lam.

















ATH-THIB AN-NABAWI
SOLUSI DALAM ILMU KEDOKTERAN ALA ISLAM
Oleh: Zainal Marshofi, II Aliyah, Al Anwar.

Islam dengan ajarannya yang universal dan mencakup semua aspek kehidupan manusia sangat memperhatikan kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan keduanya dalam paradigma syari’at adalah sesuatu yang urgen dan mutlak diperlukan, terutama kesehatan rohani atau spiritual. Karena dengan jasmani dan rohani yang sehat kita umat islam dapat beribadah dengan khusyuk dan maksimal serta mampu berkarya untuk kemaslahatan bersama, saling memberikan kemanfaatan yang mana kedua hal tersebut merupakan tugas utama manusia di muka bumi. Untuk itu agama islam sangat menekankan sekali untuk menjaga kesehatan. Hal itu terlihat dalam beberapa ajaran islam yang melarang seseorang untuk melakukan tindakan yang bisa mengganggu kesehatannya. Seperti dalam pelarangan meminum khomer dan minuman memabukkan lainnya. Juga hikmah yang terdapat dalam pelarangan memakan daging babi karena ternyata dalam daging babi terdapat bakteri-bakteri yang dapat membahayakan tubuh.
Di samping itu banyak kaidah fiqhiyyah  yang secara eksplisit menyatakan akan pentingnya menolak mafsadah. Seperti kaidah:
درء المفاسد مقدّم على جلب المصالح
“Mencegah kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”
Dan juga kaidah:
الضرر يزال                                             
“Kemadlorotan harus dihilangkan.”
Dalam yurisprudensi fiqh, aspek kesehatan sangat kentara bisa mempengaruhi hukum-hukum berikut konsekuensinya, baik dalam masalah ‘ubudiyah maupun mu’amalah. Seperti pemberian dispensasi bagi orang sakit dengan kadar tertentu untuk berbuka puasa di bulan Ramadlan dan pembolehan bertayamum bagi orang yang menderita pengakit tertentu.
Kendati pun begitu, islam melarang kita untuk berobat dengan cara-cara yang menyimpang dari ajaran yang benar, seperti dengan mendatangi kahanah atau dukun yang jelas-jelas merupakan sekutu setan. Karena sudah merupakan fitrah manusia bahwa demi menjaga kesehatan tubuh dan mempertahankan nyawanya, mereka rela melakukan apa saja. Begitu besarnya keinginan tersebut sampai mengalahkan akal sehat dan rasio mereka.
Metode Pengobatan Ala Rasulullah
Di tengah perkembangan teknologi, terutama bidang kedokteran dan medis, ternyata solusi medis yang diturunkan syari’ atau yang disebut dengan At-Thibb An-Nabawi tetap bisa menunjukkan eksistensi dan kebenarannya yang rasional dan ilmiah. Bahkan dengan semakin canggihnya alat-alat medis dan pendeteksi penyakit dalam organ tubuh manusia, hal tersebut semakin mengukuhkan bahwa ilmu kedokteran ala Rasulullah bukanlah mitos dan tahayul belaka dan tidak didasarkan pada hal-hal yang tidak ilmiah dan rasional. Karena hasil penelitian termutakhir yang mengkaji kebenaran dan relevansi metode pengobatan Rasulullah menghasilkan fakta-fakta ilmiah yang tidak berseberangan dengan metode tersebut. Sebagai contoh, adanya translasi religius dari Rasulullah yang mengatakan bahwa pada salah satu sayap lalat terdapat racun sedangkan sayap yang lainnya mengandung penawarnya. Setelah melalui serangkaian penelitian di era moderen ini ternyata memang terbukti bahwa hadis Nabi tersebut memang bukan isapan jempol belaka.
Terlepas dari semua fakta di atas, Ath-Thibb An-Nabawi merupakan bagian dari wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah untuk kemaslahatan manusia.
وما ينطق عن الهوى. إن هو إلاّ وحي يوحى. [سورة النجم : 3-4]
Maksudnya: Nabi Muhammad tidak mengucapkan sesuatu pun menurut hawa nafsunya. Ucapannya hanyalah berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya.
Kita umat muslim wajib mempercayainya tanpa perlu menunggu pembuktian-pembuktian ilmiah yang umumnya dilakukan oleh barat yang notabenenya adalah nonmuslim. Well, walaupun jika dipikir-pikir sebenarnya penemuan-penemuan dan pembuktian ilmiah yang mereka lakukan tidaklah terlalu mengejutkan kita bukan? Hanya soal waktu, kapan mereka akan menemukan dan membuktikannya.
Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Ath-Thibb An-Nabawi
Imam Ibnu Qoyyim (wafat tahun 751 H) dalam kitabnya "Ath-Thibb An-Nabawi"mengatakan bahwa prinsip yang paling mendasar dalam ilmu kedokteran ada tiga, yaitu menjaga kesehatan, menghilangkan virus dan bakteri membahayakan dalam tubuh, dan melindungi tubuh dari sesuatu yang membahayakan. Ketiga-tiganya telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an, yaitu yang pertama:
فمن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدّة من أيام أخر. [البقرة : 184]
Maksudnya: Jika ada orang yang tidak bisa berpuasa sama sekali atau secara sempurna dikarenakan sakit atau melakukan perjalanan, maka dia boleh berbuka dan nanti wajib membayarnya.
Dalam ayat tersebut Allah memperbolehkan bagi orang yang sakit untuk berbuka di siang hari bulan Ramadan, juga bagi musafir. Tujuannya adalah untuk menjaga kondisi kesehatannya. Karena jika dia berpuasa maka akan mengurangi stamina dan membuatnya lemah karena adanya aktivitas yang keras. Prinsip yang kedua yaitu:
فمن كان منكم مريضاً أو به أذى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك. [البقرة : 196]
Maksudnya: Jika ada orang yang sedang berhaji terkena penyakit di badannya atau rambutnya dengan kadar tertentu, maka dia boleh bercukur dan dia wajib membayar fidyah berupa puasa tiga hari, atau sodaqoh dengan tiga sho’, atau menyembelih kambing.
Dalam ayat ini Allah memperbolehkan bagi orang yang terdapat penyakit di kepalanya, seperti gatal-gatal atau kutu, untuk mencukur rambutnya dalam keadaan ihrom. Tujuannya untuk menghilangkan kutu yang menggumpal di bawah rambut. Jika dia mencukur rambutnya maka terbukalah pori-pori kepala sehingga kutu-kutu tadi bisa keluar lewat pori-pori tersebut. Dan prinsip ketiga terdapat dalam surat An-Nisa:
وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماءً فتيمّموا صعيداً طيّباً. [النساء : 43]
Maksudnya: Jika kamu dalam keadaan sakit yang tidak bisa menggunakan air, atau sedang dalam perjalanan atau berhadas kecil atau besar lalu tidak menemukan air yang bisa dibuat bersuci setelah mencarinya, maka hendaklah bertayamum dengan tanah suci yang berdebu sebagai ganti dari wudlu dan mandi besar.
Allah telah memperbolehkan bagi orang yang terkena penyakit tertentu untuk bersuci dengan tanah. Tujuannya adalah melindungi tubuhnya dari sesuatu yang membahayakan baik dari dalam maupun dari luar.
Lewat ketiga ayat tadi Allah telah menunjukkan kepada hambanya dasar-dasar ilmu pengobatan secara global. Di samping itu Rasulullah juga telah memberikan petunjuk dalam hal tersebut yang terekam dalam kitab-kitab hadis. Beliau mengajari manusia bagaimana mengobati diri sendiri untuk mengalahkan penyakit-penyakit hati dan badan, sehingga dengan demikian secara serempak beliau telah melestari-kan keimanan dan kesehatan. Inilah yang disebut Ath-Thibb An-Nabawi. Yaitu metode pengobatan yang diajarkan oleh beliau yang masih menjadi bagian dari syari’at komprehensif yang dibawanya.
Di bawah ini penulis mencoba untuk menguak sedikit dari metode tersebut. Tentunya dengan pengetahuan penulis yang terbatas.
Pembagian Penyakit Dalam Ath-Thibb An-Nabawi
Salah satu ulama salaf yang membahas metode ini secara intensif adalah Imam Ibnu Qoyyim. Kitabnya yang berjudul "Ath-Thibb An-Nabawi" menjadi bahan referensi utama dalam menelaah lebih lanjut kandungan ilmu pengobatan ala Nabi ini. Dalam kitabnya tersebut beliau menjelaskan bahwa metode pengobatan Rasulullah terbagi menjadi dua, yaitu: pengobatan dengan menggunakan ألأدوية القلبية و الروحانية (obat batin dan tak kasat mata) dan pengobatan dengan الأدوية الحسّية  (obat fisik dan nyata).
Pengobatan yang pertama tidak bisa dicerna oleh kebanyakan dokter, dan akal mereka tidak bisa sampai kepadanya karena pengobatan ini untuk penyakit hati atau psikis. Metode ini menyerupai teori ilmu psikologi modern dan psikiatri karena metode ini menggunakan kekuatan dan kemampuan hati (will power), kepasrahan kepada Allah, berserah lindung kepada-Nya, merendah di hadapan-Nya juga dengan sodaqoh, berdoa, bertaubat, berbuat baik pada orang lain, menolong yang kesusahan dan lainnya. Sesungguhnya praktek pengobatan ini telah dilaksanakan oleh umat-umat terdahulu dengan keragaman agama dan kepercayaannya. Mereka menemukan bahwa obat-obat ini mempunyai efek dan khasiat yang bagus untuk mengobati penyakit yang mana hal tersebut tidak ditemukan dalam ilmu kedokteran modern. Hal tersebut sebenarnya tidak menyimpang dari hukum alam dan bukan sesuatu yang berbau 'mistis' atau sebagainya, seperti mantra atau jampi-jampi yang dilafalkan oleh dukun. Karena ketika hati seseorang sudah dekat dengan sang pencipta alam yang menciptakan penyakit dan obatnya, disertai dengan jasmani dan rohani yang bersih dan kuat, maka hal tersebut akan menjadi bentuk sinergi yang kuat untuk menolak suatu penyakit dan melenyapkannya dari dalam tubuh.
Sebagai contoh, cerita yang terdapat dalam Shohih Muslim tentang para sahabat  Nabi yang melakukan perjalanan. Salah satu dari mereka bisa menyembuhkan kepala suatu kampung yang terkena sengatan kalajengking hanya dengan membaca surat Al-Fatihah (meruqyah). Pengaruh ruqyah dengan Al-Fatihah dalam mengobati gangguan binatang berbisa mengandung rahasia yang unik. Sebab binatang berbisa itu mempengaruhi melalui kondisi jiwa korban yang labil dengan senjatanya yaitu sengatan yang berbisa. Dan hewan semisal kalajengking tidak akan menyengat kecuali ketika dia marah. Karena ketika marah racun yang ada pada pencapitnya akan bereaksi kemudian dia mengeluarkannya melalui pencapitnya dan langsung menyebar ke dalam tubuh korban. Dan ketika diruqyah, jiwa orang yang meruqyah dapat memberikan pengaruh terhadap jiwa yang diruqyah. Maka terjadilah fi´l dan infi´al (aksi dan reaksi) diantara keduanya, sebagaimana aksi dan reaksi yang terjadi antara penyakit dan obat. Maka jiwa orang yang diruqyah menjadi kuat dengan ruqyah itu dan dapat menundukkan penyakit atas izin Allah. Adapun semburan dan air ludah yang dikeluarkan pe-ruqyah hanyalah merupakan media perantara saja. Karena proses ruqyah itu keluar dari hati si pe-ruqyah dan mulutnya. Jika disertai dengan sesuatu yang berasal dari dalam tubuhnya, seperti air ludah dan nafas, maka akan menjadi kombinasi sempurna dalam proses penyembuhan. Majalah 'Newsweek' terbitan tanggal 10-11-03 memuat artikel menarik sehubungan dengan pembahasan ini. Artikel tersebut berjudul: "Tuhan Dan Kesehatan: Apakah Agama Merupakan Obat Yang Baik?" Disitu dituliskan bahwa keimanan kepada Tuhan dapat meningkatkan harapan pasien untuk sembuh dan membantu proses penyembuhan dengan mudah. Menurut pendataan yang dilakukan majalah tersebut, 75%  masyarakat Amerika mengatakan bahwa mereka percaya jika berdoa dapat menyembuhkan penyakit. Dan menurut penemuan di Universitas Rush Chicago, tingkat kematian dini di kalangan orang-orang yang beribadah dan berdoa secara teratur adalah sekitar 25% lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki keyakinan agama. Penelitian lain yang dilakukan terhadap 750 orang yang menjalani pemeriksaan Angio Cardiographi (jantung dan pembuluh darah) membuktikan secara ilmiah "kekuatan penyembuhan dengan doa", dan tingkat kematian dikalangan penderita penyakit jantung yang rutin berdoa menurun 30% dalam satu tahun pasca operasi.
Metode pengobatan yang kedua adalah الأدوية الحسّية yakni obat-obatan yang berasal dari tanaman-tanaman, tumbuh-tumbuhan atau yang lainnya seperti susu dan madu. Dalam hal ini Nabi SAW  memberikan kita petunjuk dalam mengobati berbagai penyakit. Akan tetapi ilmu kedokteran ala Nabi tidaklah sama dengan ilmu kedokteran modern yang dikembangkan barat, karena ilmu kedokteran Nabi didasarkan pada keyakinan yang berasal dari wahyu ilahi dan kesempurnaan akal yang beliau miliki. Sedangkan ilmu kedokteran modern lebih banyak didasarkan pada hasil eksperimen yang bersifat estimasi dan praduga saja.
Akan tetapi pada kenyataannya banyak umat islam yang lebih condong untuk menggunakan ilmu kedokteran modern. Sedikit sekali yang mau menggunakan Ath-Thibb An-Nabawi. Hal itu dikarenakan orang yang menggunakannya hanyalah orang yang menerimanya dengan tangan terbuka dan mempercayainya atau dengan kata lain, orang-orang yang sempurna iman dan kepasrahannya. Jadi, Ath-Thibb An-Nabawi tidak sesuai kecuali untuk jasmani yang baik, seperti Al-Qur’an yang hanya sesuai dengan hati yang bersih dan suci.
Penutup
Salah satu faktor terpenting dalam kelangsungan manu-sia di muka bumi ini adalah kemampuannya mempertahankan diri dari segala macam bahaya yang selalu mengancam, baik dari luar maupun dari dalam. Salah satu caranya adalah dengan ilmu kedokteran dan medis, yang mana tujuan dari ilmu ini adalah mempertahankan tubuh dari serbuan virus dan bakteri jahat yang bisa mengganggu sistem kerja tubuh. Nabi Muhamad, Nabi yang diutus dengan syareat yang  komplit dan sempurna pun tak luput untuk memperhatikan masalah yang satu ini. Lewat kitab-kitab hadis kita bisa mengetahui bahwa beliau mengajarkan kita tata cara berobat yang baik dan benar. Namun kita sebagai manusia tidak dapat hidup selamanya, walaupun tanpa penyakit yang menimpa dan dengan segala macam obat-obatan yang diminum, kematian tetap akan menyapa kita disela-sela waktu tanpa ada pemberi-tahuan terlebih dahulu. Oleh karena itu, tujuan kita dalam berobat bukanlah usaha untuk lari dari kematian, karena usaha seperti itu adalah sia-sia belaka.
قل لن ينفعكم الفرار إن فررتم من الموت أو القتل وإذاً لا تمتّعون إلاّ قليلاً. [الأحزاب : 16]
Maksudnya : Lari dari kematian atau dibunuh itu tidak akan bermanfaat bagi kamu. Dan jika kamu benar-benar ter-hindar dari kematian maka kesenangan yang kamu dapatkan hanyalah sebentar saja.
Tujuan kita berobat adalah untuk mencari keridhoanNya dengan mencari dan mengunakan sebab-sebab yang telah Allah letakkan pada tempatnya masing-masing. Malah hakikat iman tidak akan sempurna kecuali dengan mubasyarotul asbab  (mengindahkan sebab-sebab) yang telah Allah rancang dan atur sedemikian rupa. Wallahu a’lam.
ANALISIS 'URF DALAM PERSPEKTIF SYAR'I
Oleh : Aly Ja'far, III Aliyah, Al Anwar.

            Perpaduan antara syari'at Islam dengan berbagai dinamika kehidupan manusia adalah sebuah keniscayaan. Sebab syari'at Islam diturunkan ke muka bumi ini bukan tanpa sebab, melainkan untuk dijalankan umat manusia yang memiliki beragam etnis ras dan suku yang beraneka ragam. Mereka semua memiliki berbagai kebiasaan, adat istiadat ('urf) dan tradisi yang berbeda. Semuanya hidup tumbuh dan bekembang di wilayah masing-masing.
Islam adalah agama suci yang digariskan Allah untuk seluruh umat manusia, namun Islam tidak hadir dalam sekejap, sebagai sajian praktis dan cepat saji, atau turun dalam ruang hampa. Tapi Islam hadir melalui proses pertemuan dan persinggungan dengan realitas sosial yang mengitarinya. Hal ini menjadikan Islam sebagai agama yang asalnya hanya bersifat transenden (wahyu) karena diturunkan kepada manusia yang berwatak sosial dan menempati ruang dan waktu, akhirnya pun bisa terkandung sisi historitas kemanusiaan. Tak heran bila banyak ayat-ayat Al-Qur'an maupun hadis Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya merupakan jawaban dari berbagai peristiwa yang terjadi waktu itu. Jarang sekali nash-nash syar'i yang diturunkan tanpa adanya sabab musabab yang menyertainya. Gambaran ini jelas memberikan bukti nyata bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menafikan berbagai realitas sosial yang hidup dan terus berkembang di belahan bumi di mana Islam pertama kali diperkenalkan. Dalam generasi berikutnya, para sahabat, tabi'in maupun ulama salaf tidak pernah meminggirkan berbagai kultur yang ada. Mereka selalu berusaha memahami 'urf atau adat yang telah mengakar di berbagai lapisan masyarakat. Semuanya dipelajari untuk kemudian dijadikan bahan konsiderensi (pertimbangan) dalam mengangkat kebijakan hukum.
Hasilnya adalah apa yang kemudian lahir dari fatwa-fatwa mereka terkesan mewakili ranah adat masing-masing. Contoh kecil adalah Imam Malik yang berpegang teguh menggunakan 'urf ahli Madinah sebagai dalil intinbat. Sedangkan tiga imam setelah beliau tidak menggunakannya, ini karena Imam Malik hidup dalam kurun pertama hijriyah, sebuah masa di mana dalam kurun ini Madinah adalah kota pertama yang berhasil dibangun Rasulullah. Dengan segala aspek pendidikan yang beliau terapkan telah mampu merubah tatanan sosial yang ada dan membentuk komunitas baru yang sanggup mengemban etos kenabian. Pendidikan yang beliau ajarkan mampu merasuk ke dalam tulang sumsum dan mendarah daging serta dihafal di luar kepala, sehingga apa yang mereka lakukan adalah refleks dari apa yang pernah Nabi ajarkan. Keadaan ini berlangsung terus menerus dan mempengaruhi perilaku mereka yang pada akhirnya perilaku dan kebiasaan ini mampu membentuk pribadi-pribadi yang taat. Dari masing-masing individu inilah penduduk Madinah mampu menciptakan suatu 'urf yang bisa dijadikan rujukan dalil istinbat, karena keislaman mereka masih orisinil sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah.
Secara metodologis pun kita dapat melihat bagaimana para intelektual Islam begitu memperhatikan unsur adat dan 'urf sebagai penyempurna kajian. Dalam literatur khazanah ulumul Qur'an misalkan, seorang mujtahid atau mufassir disyaratkan terlebih dahulu menguasai asbabun nuzul dan tata letak antara ayat Madaniyah dan ayat Makkiyah secara persis sebagai modal dasar periwayatan. Sementara di kedua wilayah tersebut muncul berbagai karakteristik dan kehidupan masyarakat yang berbeda. Imam Al Suyuthi dalam kitabnya Al Itqon menuturkan beberapa cirri eksklusif untuk mengetahui perbedaan di atas. Di antaranya adalah, untuk ayat Madaniyah diawali dengan (ياأيها الذين آمنوا) dan begitu juga sebaliknya ayat Makkiyah diawali dengan (ياأيها الذين كفروا). Ayat pertama turun untuk orang mukmin di Madinah dan yang kedua untuk orang kafir Makkah. Dengan ini terbuktilah secara otentik akan adanya hubungan dialektis antara nas syari'at dan realitas sosial yang berkembang. Selain dalam kajian ulumul Qur'an, para ulama fiqh pun memberikan apresiasi yang cukup besar pada adat, tradisi, dan budaya, masing-masing menggunakannya sebagai landasan istinbat baik dalam porsi besar maupun kecil.
Klasifikasi Adat/'Urf
Dari berbagai adat istiadat yang berlaku di masyarakat, tidak semuanya bisa dirujuk dengan bebas oleh Islam. Semuanya harus diseleksi, difilter, dipilih dan dipilah untuk dijadikan partner dalam mengambil keputusan selanjutnya. Para pendahulu kita telah berhasil menseleksi dengan ketat, berbagai jenis kebudayaan yang ada, kemudian membangun kembali ke dalam dua kategori umum. Yang pertama adalah adat shahih, dan yang kedua adalah adat fasid. Untuk kategori yang pertama adalah sebuah tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar'I, tidak menghalalkan yang haram, atau menggugurkan kewajiban, mendorong adanya maslahah, dan mencegah timbulnya destruksi sosial. Perlu diketahui, bahwasanya adat ini pada mulanya adalah syari'at hanifah yang dibawa Nabi Ibrahim dan diajarkan kepada masyarakat Arab seperti praktek haji, had zina, rajam, dan lain sebagainya. Karena ulah orang Arab jahiliyah telah menyebabkan adanya desekresi syari'at dan menjauhkannya dari kesan islami, maka keluarlah ia dari identitas asalnya dan menjadi tradisi jahiliyah. Contoh adat shahih lainnya adalah kebiasaan masyarakat feodal Arab yang memberlakukan syarat kafaah (kesepadanan pasangan) dalam perkawinan. Atau sifat 'ashobah dalam perwalian dan waris mewaris, karena adat ini tidak bertentangan dengan konsep dasar syari'ah, maka ia pun dijadikan pertimbangan dalam mengangkat hukum. Sedangkan untuk yang kedua (adat fasid), adalah kebalikan yang pertama, dengan kata lain ia adalah sebuah tradisi yang tidak berlandaskan dalil-dalil syari'at, menghalalkan yang haram, serta mendorong timbulnya mafsadah. Di antara contohnya adalah kebiasaan buruk orang Arab jahiliyah yaitu mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Atau mewarisi wanita yang ditinggal mati ayahnya. Adat seperti ini jelas tidak akan mendapatkan legitimasi dari Islam. Sebab dengan memelohara tradisi kedua ini hanya akan merusak fondasi hukum-hukum Islam dan menghancurkannya dari dalam. Sementara ajaran Islam memuat citra maslahah 'ammah, tidak subjektif dan parsial. Walaupun adat fasid memuat citra maslahah, biasanya hanya didasari kepentingan sesaat, seperti kebiasaan orang Mesir yang menenggelamkan seorang gadis mereka ke dalam sungai Nil untuk mendapatkan perlindungan sesaat dari penunggunya.
Di antara dua tradisi di atas, ada tradisi yang berlaku di kehidupan masyarakat, tapi syara' tidak memuat ketetapan spesifik yang mengenainya, tidak jelas apakah melarang atau menganjurkannya. Seperti memperingati hari kemerdekaan, hari pahlawan, dan lain sebagainya. Masalah tersebut merupakan kumpulan dari tradisi masing-masing bangsa. Maslahah dan kebaikannya juga diserahkan pada penilaian syara' tergantung sisi madlorot atau manfaat yang ditimbulkannya. Para ulama dalam mengapresiasi tradisi ini menggunakan dalil antara lain:
ما رآه المؤمنون حسنا فهو عند الله حسن.
Atau sudah ada ketetapan dari syara', namun tak adanya standarisasi khusus yang mengikat untuk dijadikan referensi hukum yang statis, maka semuanya dilarikan kepada 'urf masing-masing. Seperti awal haid, balig, dan nifas. Di sinilah 'urf harus berbicara dan sangat diperlukan keberadaannya. Ia bisa menjadi bahan rujukan yang dapat memecahkan beberapa persoalan seperti di atas. Dan penggunaan 'urf  ini disesuaikan dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً.
Beberapa Contoh Adat
            Dari beberapa persoalan yang dikupas dan diulas secara mendalam oleh para fuqoha, banyak di antaranya yang terdapat unsur-nsur pertimbangan adat, yang mana semuanya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang berlaku. Imam Syihabuddin Al Qorofi menuangkan beberapa contoh dan ulasan yang diungkap dalam kitab Al Wajiz fi Ushul Fiqh oleh Abdul Karim Zidan. Di antaranya adalah tradisi menggunakan naqdain (emas dan perak) yang sudah dikenal ratusan tahun sebelum hijriah sebagai alat tukar transaksi jual beli. Tradisi ini terus bertahan hingga masa datangnya Islam dan Rasulullah sama sekali tidak pernah melarang umatnya untuk menggunakannya sebagai alat tukar yang sah. Namun setelah memasuki periode-periode berikutnya di mana zaman semakin canggih, umat manusia mulai menyingkirkan tradisi penggunaan uang dari emas dan perak, kemudian menggantinya dengan uang kertas. Dan selama berabad-abad pula umat Islam tidak pernah mempermasalah-kan peralihan tradisi ini, sebab proses transisi ini dianggap tidak akan merubah sendi-sendi ajaran Islam. Ia dapat digunakan tanpa harus dipersoalkan panjang lebar.
Contoh lainnya adalah proses belajar mengajar Al-Qur'an pada masa hidupnya Imam Abu Hanifah. Beliau melarang para mu'allim kalam Allah untuk mengambil upah. Larangan ini bukannya tak berdasar, beliau mempertimbangkan bahwa pada saat itu para pengajar sudah mendapatkan tunjangan hidup dari baitul mal. Namun pada generasi berikutnya di mana lembaga keuangan negara sudah tidak mampu lagi memberikan tunjangan, disebabkan banyaknya alokasi dana yang harus dikeluarkan, maka para ulama Hanafiyah pun mulai membuat reaksi yang berbeda dari sebelumnya dengan memberikan fatwa diperbolehkannya para mu'allim mengambil upah. Dan fatwa itu abash adanya, walaupun tidak sesuai dengan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Imam Abu Hanifah. Ijtihad seperti ini memang baik untuk waktu itu (masa Imam Abu Hanifah). Sikap ini bisa dirubah sesuai dengan tuntutan zaman, selama tidak ada dalil syar'i yang melarang atau menganjurkan secara wajib.
Dari setiap contoh yang ada setidaknya kita bisa memahami dan memaklumi, bahwa setiap perubahan hukum itu wajar, seperti kewajiban zakat uang kertas misalkan, hal ini wajar melihat berbagai tuntutan yang ada. Namun ijtihad ini hanya bisa dilancarkan jika tidak berseberangan dengan ketentuan dasar dan berbagai hukum baku Islam lainnya. Dan jika hukum baru ataupun tradisi telah melancangi nas-nas syar'i maka tak ada justifikasi lagi pada adat yang berlaku, bahkan adat ini harus dibuang jauh ke dalam limbo sejarah.
            Dari sekelumit contoh di atas dapat kita maklumi, mengapa para ulama, khususnya para fuqoha, dirasa perlu menarik kesimpulan untuk merumuskan berbagai kaidah fiqh seperti (العادة محكمة) yang berarti: "adat istiadat adalah hakim yang bisa dijadikan rujukan guna mencetuskan suatu hukum." Kaidah ini merupakan prinsip dasar dan rumus umum yang dapat memecahkan berbagai persoalan yang erat kaitannya dengan adat istiadat dengan segala variannya. Dengan memahami kaidah ini diharapkan kita tidak memandang dengan sebelah mata dalam memahami tradisi dan budaya atau kita bisa melihatnya dengan artian yang lebih luas. Namun yang perlu diketahui, pemberlakuan prinsip umum ini tidak berarti mensejajarkan budaya dengan nash syari'at, akan tetapi lebih mengajukan pada asumsi pokok bahwa ajaran Islam tak pernah beranggapan atau memandang adat sebagai sampah yang tak bernilai. Adat adalah realitas historis dari kehidupan umat manusia, ia telah mencampur dan mendarah daging beratus-ratus tahun lamanya dengan umat manusia. Wallahua'lam.















NOKTAH HITAM SEJARAH
Oleh: Ali Ja'far, III Aliyah, Al Anwar.

            Proses pembelajaran di setiap sisinya terkadang memang sulit untuk dicerna otak manusia. Namun dari kesukaran inilah kita sering mendapat banyak letupan-letupan  inspirasi yang mampu memberikan kita kekuatan logika untuk berpikir ulang tentang apa yang kita terima. Dalam proses pembelajaran sejarah misalkan, kita sering dihadapkan pada pemandangan skenario terselubung, konspirasi tersembunyi, serta diplomasi dan dominasi yang menyertainya. Klaim-klaim kesimpulan sejarah pun terkadang diambil tanpa adanya konsiderensi di sana-sini. Entah mana yang harus kita percaya? Penulis sejarahkah atau pelaku sejarahkah? Semuanya masih absurd bagi kita. Dan jika pada nantinya kita punya keyakinan yang kuat tentang apa yang terjadi di masa silam yakinilah itu sebagai kebenaran yang tersandar pada para penulis sejarah. Dan jika itu tidak berbanding lurus dengan apa yang kita yakini, tak perlu risau, kita sama-sama bukan penulis, pelaku ataupun pembuat sejarah itu.
            Dari sekian doktrin yang kita terima, dan tentunya kita yakini akan kebenaranya, terkadang sering timbul dalam benak-benak jahiliyyah kita, berbagai pertanyaan imajiner yang melesat-lesat tanpa kontrol. Ilusi itu terkadang  muncul di saat kita diwajibkan meyakini apa yang kita terima sebagai keutuhan yang tak boleh disentuh. Sebegitu sakralkah sebuah kepahaman sehingga ia tidak boleh diotak-atik? Tak ada jawaban yang pasti, karena kita harus bungkam bahkan ketika kita ingin bertanya. Di antara sederet jawaban yang ingin kita ketahui hasil akhirnya, tidak boleh dibicarakan oleh manusia, karena waktulah yang dengan sendirinya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan kita.
Jawaban yang cukup melelahkan, karena waktu terlalu banyak bicara. Ia berbicara tentang prinsip yang harus kita tempuh, ia juga menasehati kita tentang trik dan intrik yang diperlukan dalam perjuangan serta ia cukup banyak memberikan kita wejangan tentang bagaimana prinsip dan intrik yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang semestinya. Pengetahuan itu bisa kita dapatkan, bahkan dari bagian-bagian peristiwa yang dianggap banyak orang sebagai 'cacat sejarah' benarkah itu cacat, kita sendiri yang menilainya, anggaplah semuanya baik-baik saja. Inilah sedikit cuplikan peristiwa yang dianggap 'cacat' pertarungan takberujung pada prinsip dan konsep antara keyakinan dan harapan. Plot kisah tragis antara para pelaku sejarah.
Pasca pembunuhan khalifah ketiga, suasana memang begitu kacau, umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok politik. Tidak semua umat Islam abad pertama sepakat membai’at Ali sebagai penganti 'Utsman yang mati terbunuh di tangan orang yahudi. Di Syam, Mu’awiyah yang masih kerabat 'Utsman menuntut ditegakkannya hukuman kepada Ali atas kematian Utsman. Ia  menuduh Ali berada di belakang kaum pemberontak. Ia didakwa telah memberikan perlindungan terhadap pembunuh Utsman.
Tudingan Muawiyyah terhadap khalifah keempat ini sudah bisa langsung tangkap sebagai 'tudingan politik' yang menyangkut ke ranah 'perselisihan hukum' dan 'pergerakan militer'. Di mana masing-masing tiga kekuatan ini memiliki peran masing-masing dalam membuat percikan 'noda-noda' sejarahnya.
Langkah awal perlawanan Mu’awiyah bahkan dinyatakan secara terbuka dengan mendeklarasikan  dirinya sebagai khalifah tandingan di Syam. Ali dinyatakan telah gagal membentuk pemerintahan Islam yang berlandaskan pada hukum Allah. Tuduhan yang kedua ini telah mampu membangkitkan gairah kekuatan masa untuk sama-sama memberontak pada pemerintahan yang sah. Arus masa yang terus bergejolak ini dimanfaatkan oleh Muawiyyah untuk mengalang dukungan militer yang berujung pada gerakan bersama untuk menumbangkan khalifah. Bahkan ia tak segan-segan mengerahkan tentaranya untuk memerangi Ali.
Sedangkan di Mekah, kondisi yang sama terjadi. 'Aisyah menggalang kekuatannya bersama Thalhah dan Zubeir untuk melawan Ali. Kekuatan oposan ini terlepas dari tunggangan politik manapun. Mereka hanya ingin pihak khalifah mengusut tuntas pembunuh 'Utsman yang masih berkeliaran.
Semua sengketa di atas pada mulanya berawal dari kebijakan pertama sahabat Ali saat diangkat menjadi khalifah. Tanggung jawab yang ia pikul memang berat selain dituntut memperbaiki sistem pemerintahan yang kacau, ia juga dituntut untuk menuntaskan kasus jejak pembunuhan khalifah ketiga. Dari sekian banyak tugas yang dibebankan, beliau berusaha 'merampingkan' konflik dengan melihat akar masalahnya. Di antaranya adalah penutupan kasus pembunuhan 'Utsman, memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat 'Utsman dan menarik kembali tanah negara yang telah dibagi-bagikan oleh khalifah 'Ustman kepada kerabatnya. Ali mengangkat 'Utsman bin Junaif menjadi Gubernut Basrah menggantikan Abdullah ibn Amir, Umarah ibn Syihab gubernur Kufah menggantikan Sa’d ibn al Ash.
Sedangkan kebijakan Ali mendapatkan tantangan keras dari mereka yang aspirasinya merasa diabaikan, serta dari pejabat-pejabat yang digeser dari kedudukannya. Di sisi lain, penduduk Madinah sendiri tidak sepenuh hati mendukung Ali. Posisi Ali benar-benar sulit. Ia terjepit antara keinginan untuk memperbaiki situasi negara yang sudah chaos dengan ambisi lawan-lawan politiknya yang selalu berusaha menjegal kekuasaannya.
Kondisi Madinah yang tidak berpihak pada kebijakan pemerintahan telah menyumbat perjalanan roda pemerintahan yang sedang dibangun. Akhirnya Ali memindahkan ibukota negara ke Kufah, karena di sini Ali mendapat dukungan penuh dari rakyat.
            Di Syam, Mu’awiyah telah mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi Ali. Mendengar khabar tersebut Ali segera memimpin pasukan guna memerangi Mu’awiyah, namun sebelum rencana itu terlaksana, ternyata  umul mu'minin Aisyah, Thalhah dan Zubeir telah bersiap memberontak kepadanya.
            Dari Makkah mereka menuju Basrah, Ali pun membelokan pasukannya ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan, namun terlebih dahulu Ali menawarkan perdamaian dan mengajak mereka berunding tapi tawaran itu ditampik, maka tak dapat dihindari terjadi perang yang dinamakan perang Jamal. Pasukan Ali menang, Thalhah dan Zubeir tewas, Aisyah dipulangkan ke Madinah secara terhormat.
Setelah itu Ali mengalihkan perhatiannya ke Mu’awiyah, Ali mengirimkan surat ke Mu’awiyah dan menawarkan perundingan, akan tetapi Mu’awiyah tetap pada pendiriannya dan terkesan membuka perang saudara, maka terjadilah perang saudara itu. Banyak tentara di kedua belah pihak yang gugur, ketika Ali hampir memperoleh kemenangan, Amr ibn al Ash yang berada di barisan Mu’awiyah mengangkat mushaf menandakan damai. Maka perang pun dihentikan dan diadakan proses arbritase/ tahkim (perundingan) antara kedua belah pihak. Dalam tahkim ini pihak Ali diwakilkan oleh Abu Musa al Asy’ari yang dipecundangi oleh siasat 'Amr yang mewakili kubu Mu’awiyah. Tahkim ini menghasilkan keputusan yang timpang balik. Pihak incumbent kalah, Ali dilengserkan dari jabatannya dan kelompok oposisi yang dipimpin oleh Mu’awiyah berhasil membalik kekuasaan. Proses tahkim telah mampu mendongkrak popularitas Muawiyyah, selaku  pihak penggugat,  Ia dengan skenario politiknya berhasil mengalang kekuatan masa dan akhirnya ia bisa naik memperkuat posisinya menjadi khalifah.
Proses arbritase /tahkim atau yang sering disebut dengan slogan “Laa hukma illallah” patut kita cermati dalam pembacaan sejarah dan selayaknya juga kita amati dalam konteks restorasi hukum Islam. Proses itu lahir ketika pertentangan antar kubu sudah akut dan parah. Dari satu kutub,  para pihak penentang Ali begitu ingin menegakkan hukum Allah yang 'terlupakan' di tangan khalifah keempat. Dan dari satu sudut yang bersebrangan demi menghentikan eskalasi politik, agresi militer pihak oposan, serta mengembalikan lagi kondusifitas keamanan negara, maka meninggalkan konflik dam Utsman (darah Ustman), adalah keniscayaan.
Kejadian ini menimbulkan krisis baru dan pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang kebanyakan dari Bani Tamim. Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil perundingan tersebut dengan menyatakan “Laa hukma illallah”. Ali pun memberi komentar dengan ucapan yang masyhur, "Kata-kata yang haq, tapi yang dimaksudkan adalah bathil, sungguh mereka tidak ingin adanya pemimpin dan harus ada pemimpin yang baik ataupun jahat."
Dari dua keinginan yang tak berujung inilah, noktah-noktah sejarah mengalir semakin deras. Kejadian Perang Jamal, dan tahkim telah melukai perjalanan politik Islam. Politik yang berujung pada pertikaian hukum dan darah para militant. Noda sejarah terus berlanjut, politik berwajah darah terus mengalir di sana-sini. Gejolak api pertikaian belum mereda hingga akhirnya peristiwa terbunuhnya Ali di tangan Abdurrahman bin Muljam menjadi titik terhitam dalam landscape perjalanan sejarah para pendahulu kita. Rekam jejak sejarah hitam ini terus mengalir, goretan-goretan pertarungan masa lalu masih membekas di tangan-tangan para sejarawan. Dari sekian ulasan teropong sejarah masa silam, setidaknya telah memberikan sedikit pelajaran berharga bagi kita, bahwa sebuah prinsip itu harus kita pegang selamanya di saat kita yakin akan kebenarannya. Namun adakalanya kita harus membuat skenario tersembunyi untuk memenangkan pertarungan prinsip.
Belajar dari Ali yang rela mengubur keinginannya menumpas pembunuh 'Utsman demi menciptakan pemerintahan yang stabil dengan meredam eskalasi politik. Kita juga bisa belajar lewat sayyidah Aisyah. pejuang gigih yang rela maju di medan perang demi menegakkan hukum dan mmperjuangkan prinsip Islam. Terakhir kita juga bisa belajar kepada Muawiyyah yang dengan strategi politiknya mampu merubah peta kekuasaan. Dari mereka kita bisa belajar, pelajaran yang indah meski dianggap terluka di mata sejarah.  Bagaimana menurut anda?










"COGITO ERGO SUM"
(Aku berpikir, maka aku ada)
Oleh: Zainal Marshofi, kelas II Aliyah, Al Anwar.

Ungkapan kata-kata di atas ini dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf beraliran Rasionalis dan pelopor filsafat pembaharuan abad ke-17. Dia telah menyangsikan segala wujud sesuatu, tetapi dalam keserba-sangsian itu ada satu hal yang pasti, yaitu bahwa aku bersangsi, dan bersangsi berarti berpikir, karena berpikir maka aku ada. Itulah yang menjadi landasan dasar filsafatnya. Kita, sebagai komunitas yang sejak kecil diberi asupan pelajaran-pelajaran agama, tentunya tidak bisa menerima begitu saja landasan filosofis yang digunakan Cartesius (nama Latin Descartes) ini. Bagaimana tidak? Dia terlalu mengagung-agungkan fungsi akal dengan meyakini bahwa yang ada pada kita hanyalah akal budi manusia saja, agama dan keyakinan dianggapnya 'kolot' atau 'ketinggalan zaman', paling banter hanya 'perasaan' saja. Golongan filosof seperti ini masuk dalam kategori orang-orang yang menyembah-nyembah akal dan dicap sesat oleh ulama-ulama Islam.
Terlebih lagi, sebagian komunitas pelajar ilmu-ilmu Islam (baca: santri) ada yang alergi dengan kata filsafat begitu kata ini disebut. Seolah-olah filsafat itu adalah 'ilmu hitam' sama sejajar dengan ilmu sihir yang hanya mendatangkan kerusakan dan kesesatan. Padahal mereka tidak pernah mengetahui substansi dari filsafat itu sendiri secara utuh. Mereka hanya tahu dari kitab-kitab yang mereka pelajari bahwa filsafat itu sesat karena tiga hal, salah satunya yaitu meyakini akan qidam-nya alam semesta. Memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena langkah yang diambil para ulama kita dalam mengharamkan mempelajari filsafat sekuler adalah berdasarkan tindakan antisipatif. Selain itu, kebanyakan aliran dalam filsafat terlalu mengagung-agungkan peran akal dan fungsinya, seperti Descartes dan Benedict De Spinoza. Filsafat dipandang sebagai sumber segala kebenaran yang mengharapkan darinya kebahagiaan tulen dan jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan hidup. Sebaliknya, ada pula yang menganggap filsafat tidak lain hanya 'obrolan belaka', 'omong kosong', dan 'hasil lamunan' yang sama sekali tidak ada artinya bagi kehidupan sehari-hari. Kita sejak kecil selalu diajarkan agar bersikap tengah-tengah, tidak terjerumus pada ekstrimisme dan fanatisme buta, juga bukan seorang liberalis yang bebas tak beraturan. Kita harus bersikap tengah-tengah, objektif, dan adil dalam menilai segala sesuatunya, termasuk dalam memandang filsafat. Selain itu, filsafat jika kita telusuri akar katanya, maka akan ditemukan bahwa kata itu berasal dari phylo dan sophos yang artinya cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Atau dalam bahasa yang lebih akrab di telinga kita kebijaksanaan sering diartikan dengan hikmah. Ya, hikmah atau apapun itu asal berupa kebenaran hakiki, kita dianjurkan untuk 'memungutnya' dari manapun ia berasal. Khudzil hikmah walau min ayyi famin kharajat. Begitu kata pepatah Arab (penulis mengatakan pepatah karena belum menemukan pernyataan tegas apakah ini berasal dari hadis atau bukan).
Para ahli pemikir, meskipun terdapat perbedaan paham tentang definisi atau batasan filsafat itu, namun dalam perbedaan itu terdapat kesamaan, yaitu: a) bahwa filsafat adalah suatu bentuk 'mengerti', b) semua mengakui bahwa filsafat termasuk ilmu pengetahuan, c) dan ilmu pengetahuan ini mampu mengatasi lain-lain ilmu, dalam arti lebih mendalam, lebih umum/universal, lebih sesuai dengan kodrat manusia. Manusia pada kodratnya memang selalu ingin mengerti. Mereka berpikir, merenungi, memahami, menelaah, menganalisa dan segala bentuk berpikir lainnya, untuk menuju pada 'mengerti'. Dengan segala keterbatasannya, manusia mencoba memahami mengapa mereka ada? Untuk apa ada? Haruskah dia ada? Apa di balik sesuatu yang kita lihat? Belum lagi jika mereka menyelami diri mereka sendiri, maka akan menemukan bertumpuk-tumpuk pertanyaan mengenai jati diri manusia, memecahkan soal-soal tentang 'ada', tentang dunia dan manusia, tentang hidup dan kehidupan dengan berbagai problemnya. Usaha-usaha mencari jawaban, atau setidaknya sesuatu yang dapat meredam gejolak dalam diri mereka, itulah yang dinamakan berfilsafat. Perbedaan antara orang yang berfilsafat dan orang yang tidak berfilsafat boleh dikatakan terletak dalam sikap mereka terhadap hidup manusia. 'Hidup' di sini meliputi segala sesuatu yang dialami dan dirasakan manusia dalam dirinya sekaligus dirasakan dan dialami pula oleh orang lain. Prof. S. Takdir Alisyahbana menuliskan dalam bukunya "Pembimbing ke filsafat" sebagai berikut: "Bagi manusia, berfilsafat itu berarti mengatur hidupnya seinsyaf-insyafnya, dan sesentral-sentralnya dengan perasaan bertanggung jawab. Bukan bertanggung jawab terhadap si A atau B, tetapi kepada pokok dan dasar hidup yang sedalam-dalamnya."
Tapi, filsafat juga tidak hanya melulu teori yang muluk-muluk saja, melainkan ada sudut praktisnya juga. Karena semua upaya dan usaha manusia memikirkan kenyataan sedalam-dalamnya itu pasti berpengaruh atas kehidupannya, hingga dengan sendirinya bagian filsafat yang teoretis akan bermuara pada kehendak dan perbuatan praktis. Kita tentu tidak hanya ingin mengerti saja, kita ingin mengerti untuk dapat berbuat menurut pengetahuan yang kita peroleh itu.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela-bela filsafat, atau bahkan menganjurkan pembaca untuk mempelajari filsafat (dengan pengertian sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan 'sekuler'). Tidak, bukan untuk itu. Yang menjadi tujuan utama penulis, bahkan yang mendorong untuk mengangkat judul di atas, adalah kenyataan bahwa kegiatan berpikir dengan segala keragamannya telah menjadi suatu aktivitas vital bagi manusia dan kehidupannya. Menjadi pembeda antara manusia sebagai makhluk hidup dengan yang lainnya. Plato, filsuf Yunani pada abad 3 sebelum masehi, merasakan bahwa berpikir dan memikirkan itu merupakan nikmat yang luar biasa. Bahkan, Descartes sampai menyatakan ucapannya yang terkenal, yaitu "cogito ergo sum" terlepas dari kekontroversialan dan kenyelenehannya. Jika mereka yang tidak mengenal tuhan dan agama saja begitu menikmati setiap detik aktivitas berpikir, maka kita sebagai umat muslim tentu harus lebih tergugah dan giat dalam mengoptimalkan fungsi akal kita dengan menggunakannya dalam hal yang lebih bermanfaat dan terarah. Allah dalam kitab-Nya seringkali memuji orang-orang yang mau berpikir dan merenungi ayat-ayat kekuasaan-Nya dan tanda-tanda kebenaran (seperti ayat 2:44, 2:164, 3:65, dan masih banyak lagi).
Selain dalam bentuk merenungi dan meresapi, aktivitas berpikir juga dapat berupa ijtihad, dengan segala tingkatannya, sebuah upaya menggali dan memahami makna yang tersembunyi dari teks sehingga membuahkan sebuah keputusan hukum yang bersifat estimatis (dhonny). Tentunya semua kegiatan dan aktivitas otak itu harus berada pada koridornya yang lurus, sesuai dengan metode berpikir  (manhaj) dan dasar yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhamad. Karena bagaimana pun juga, akal manusia mempunyai keterbatasan dalam daya nalar, di samping juga mempunyai kelemahan yang bersifat manusiawi, yaitu hawa nafsu dan ego yang kadang bisa mendorong dan merubah keputusan-keputusan yang sudah final. Kenyataan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan harus kita terima, kita sikapi dengan rendah hati. Salah satu penyebab terjadinya kekacauan dalam alam berpikir kita adalah dikarenakan kita terlalu mengandalkan rasio kita, mengalahkan kebenaran sejati yang datang lewat jalan yang berada di luar jangkauan akal kita. Itulah mengapa para filsuf sampai mengatakan bahwa alam ini tidak mempunyai permulaan (qidam). Proses berpikir mereka telah terjangkiti rasa sombong, perasaan bahwa segala permasalahan yang mereka hadapi dapat teratasi dengan penalaran akal pikiran mereka semata. Padahal, salah satu tujuan umum dari filsafat adalah menyembuhkan kita dari kepicikan, dari "aku-isme" dan "aku sentrisme", artinya sifat memusatkan segala sesuatu kepada si "aku", mencari jalan segala-galanya hanya untuk kepentingan dan kesenangan si-aku saja. Jika jalan pikiran mereka masih tercemari oleh sifat sombong, merasa "aku", maka hal itu sama saja mencederai salah satu asas dalam filsafat, yang selama ini mereka agung-agungkan. Penyakit "aku" telah menjadi sumber bagi berbagai malapetaka di dunia ini. Dunia menjadi ramai, manusia saling makan melebihi binatang paling buas, semua diciptakan oleh sifat "aku" ini. Timbul dari "aku". Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke aku-an semata.
Padahal kalau dicermati, akal manusia sangat lemah untuk berdiri sendiri. Dia selalu membutuhkan terhadap dasar-dasar yang akan ia jadikan pondasi dalam berpikir, menjadi premis-premis yang akan dijadikan media untuk mencapai sebuah konklusi. Dalam setiap cabang ilmu pe-ngetahuan, bila kita simak dengan seksama, maka akan selalu dimulai dengan sebuah asumsi-asumsi dasar, dan asumsi ini menjadi sebuah "dogma postulat" yang harus dipercaya tanpa kita dapat membuktikan kebenarannya. Inilah yang dinamakan dengan "postulat aksiomatis". Sebenarnya kalau kita mau melakukan kontemplasi dan merendahkan diri kita sejenak saja, maka harus kita akui bahwa sejatinya di sinilah letak kelemahan kita sebagai manusia. Hipotesis atau teori yang kita bangun sebagai sumbangan pada khazanah pengetahuan itu hanya berlaku dengan asumsi-asumsi dasar yang membatasinya.
Sebagai contoh, teori matematika klasik yang paling dasar dimulai dengan sebuah postulat geometri Euclidean yang berisi: "melalui dua buah titik yang terletak sembarang di manapun, hanya akan dapat ditarik satu garis lurus". Dengan logika dan kemampuan kita berimajinasi, kita pasti dapat menerima ini. Namun kesadaran kita akan penerimaan ini sebagai hasil imajinasi dan logika sama sekali bukanlah sebuah bukti matematika, dan sayangnya asumsi ini ternyata tidak dapat dibuktikan oleh ilmu matematika itu sendiri. Karena pada waktu itu harus diakui bahwa rumus-rumus matematika yang lain belum lahir. Jadi bagaimana kita akan membuktikan hal ini? Justru setelah asumsi di atas disetujui sebagai sebuah postulat aksiomatis yang tidak perlu, dan memang tidak akan bisa dibuktikan secara matematis dan karenanya harus diimani, maka kemudian rumus-rumus matematika lainnya yang lebih kompleks dapat dijabarkan dan dibuktikan. Semua rumus matematika dan fisika yang sekarang dianut manusia hingga mampu menciptakan pesawat terbang yang melebihi kecepatan suara akan gugur semua bila postulat geometri Euclidean di atas tidak diterima dulu sebagai aksioma yang tidak perlu dibuktikan. Hal ini membuktikan bahwa manusia yang lemah membutuhkan suatu sandaran yang dapat ngayem-ngayem gejolak hatinya kala menghadapi hal-hal di luar daya nalarnya. Seperti adanya gaya gravitasi bumi, yang menyebabkan semua benda di atasnya meluncur ke bawah begitu dilepaskan dari atas. Hal ini merupakan klimaks dari ketidakberdayaan nalar manusia dalam mengungkap sesuatu di balik tabir itu. Gaya gravitasi hanyalah sebuah nama tanpa kita tahu hakikat di baliknya. Karena kita tetap tidak bisa memberikan jawaban yang benar-benar memuaskan saat ditanya, kenapa burung-burung dan serangga kecil lainnya tetap bisa terbang melayang-layang di udara? Masakan binatang sekecil itu mampu melawan gaya gravitasi yang sanggup menarik binatang sebesar gajah jatuh ke bawah? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini terus terngiang tanpa mampu memecahkannya.
Sebagai lanjutan dari hal di atas, kita juga harus tahu bahwa kode rumus filsafat sekuler berbeda dengan rumus agama (baca: Islam). Hal ini karena sifat kebenaran filsafat adalah spekulatif, yaitu suat perenungan yang bersifat praduga yang mengakar, menyeluruh, dan universal. Dimulai dengan keraguan (?), setelah yakin lalu setuju (!), dan sesudah itu ragu dan bertanya lagi (?) untuk mencari jawaban yang mengasas dan mendalam. Jadi kode rumus filsafat adalah : (? ! ?). Sedang sifat kebenaran agama adalah mutlak karena bersumber dari Dzat Yang Maha Benar, Maha Sempurna, yaitu Allah. Dimulai dengan keyakinan (!), setelah itu menyelidiki kebenaran mutlak itu (?), dan setelah konsisten meyakini hasil penyelidikannya itu, maka terjadilah pendalaman keyakinan itu yang disebut taqwa (!). Jadi kode rumus agama ialah: (! ? !).
Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah, bahwa ilmu filsafat tidak akan pernah bisa disandingkan dengan agama atas dalih untuk mencapai kebenaran sejati, karena perbedaan mendasar yang telah disebutkan tadi. Pemaksaan dalam penggunaan filsafat hanya akan menjerumuskan seseorang pada kebenaran semu, yang berakhir pada kebingungan. Kita juga tidak harus mempelajari ilmu filsafat, karena semua yang kita pelajari di sini, di madrasah ini, adalah "master-scientiarum" alias induk dari semua ilmu pengetahuan dan merupakan representasi dari pendirian Islam dalam bidang-bidang yang dimasuki filsafat sekuler, sehingga kadang di antara umat Islam ada yang menamainya dengan filsafat Islam. Semua yang terkandung dalam kitab-kitab tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, qowa'id, tashawuf, semuanya mengandung dasar-dasar dan nilai-nilai filosofis yang menjadi pegangan hidup seorang muslim.
Dan ungkapan Descartes di atas, sekali lagi, tidak dimaksudkan sebagai bentuk dukungan penulis terhadap pemikiran-pemikirannya dalam filsafat. Semboyannya itu sungguh telah memantik kesadaran baru dalam hati penulis. Kesadaran itu timbul karena ungkapan itu seolah-olah menyatakan bahwa "yang tidak berpikir bukanlah manusia, karenanya dia tidak dianggap ada". Kesimpulan seperti ini mungkin masih disangkal oleh sebagian pembaca, dan terkesan terlalu menghina yang lain, atau terlalu jauh mengambil kesimpulan. Namun terlepas dari keterbatasan daya nalar penulis dalam memahami teks, kira-kira seperti itulah yang muncul dalam benak penulis. Bagaimana dengan anda?
SOKRATES, PLATO, ARISTOTELES, KAFIRKAH?
Oleh: Ahmad Asyrofi, I Aliyah, MUS.

            Mengikuti pendapat Al-Ghozali, ada tiga kesalahan dalam keyakinan kaum filosof yang menjadikan mereka kufur; keabadian (qidam) alam, pengingkaran pengetahuan parsial bagi Tuhan, dan tidak mengakui kebangkitan jasad. Disebutkan juga pada karya-karya dalam disiplin ilmu Tauhid (teologi), pengkafiran ini di alamatkan -secara umum- kepada kaum filosof, atau dengan kata lain, secara lahir sasaran pengkafiran mereka (ulama) mutlak seluruh filosof yang memiliki ataupun mengakui tiga pemikiran di atas. Namun jika diteliti lebih mendalam, pemahaman atau pemaknaan secara lahir ini dapat menimbulkan kerancuan atau kontradiksi di dalam pendapat mereka sendiri. Sebab, ada kenyataan bahwa sejarah filsafat telah dimulai sejak lama dan telah menjadi peradaban  bangsa Yunani jauh sebelum risalah Rasululloh saw. Dengan begitu, kerancauan ini akan tampak ketika pemutlakan pengkafiran filosof harus kita kaitkan dengan pendapat-pendapat mereka mengenai ahli fatroh (manusia yang hidup pada masa kekosongan rasul atau tidak pernah menerima ajaran agama).          
Berarti sekarang kita harus mengetahui pendapat ulama ahlus-sunah tentang ahli fatroh. Selain itu, kita juga harus mengenal perkembangan filsafat serta sedikit pemikiran mereka, terutama yang berhubungan dengan  prinsip-prinsip akidah Islam.
            Sejauh yang saya temukan, ada tiga pendapat dari kalangan Ahlus-sunah tentang nasib ahli fatroh. Berikut uraian singkatnya:
1.      Pendapat dari ulama Asya’iroh. Menurut mereka, semua ahli fatroh  selamat masuk surga karena’ tidak ada hukum taklif sebelum ada risalah, baik akidah maupun furu’iah. Dengan dalil Q.S Al-Isro: 15.
2.      Dari kalangan Maturidi. Menmurut mereka ahli fatroh masih di wajibkan untuk mengetahui dan mengakui wujud pencipta alam ini. Sebab, akal dengan sendirinya mampu menjangkau pengetahuan-pengetahuan tentang adanya pencipta. Namun terkhusus dalam hal ini saja, tidak lebih.
3.      Pendapat yang di sampaikan An-Nawawi dalam tafsir Q.S Al-Isro: 15. Beliau menjelaskan, ahli fatroh bisa diklasifikasikan menjadi 13 golongan. 6 di antaranya di surga, 4 di neraka dan 3 sisanya di bawah kehendak Allah atau tidak bisa dipastikan. Golongan yang di surga terdiri dari mereka yang meng-Esa-kan Allah, baik melalui intuisi atau ilham (3 kelompok), menelaah kitab-kitab nabi (1), atau mengikuti ajaran kebenaran dari umat sebelumnya (2). Golongan yang dihukumi kafir adalah: (1) dan (2) mereka yang menganut atheisma atau politheisme dengan cara taklid, (3) mengingkari Tuhan (atheis) setelah sempat mengakuinya namun tanpa memaksimalkan potensi nalar, dan(4) mereka yang telah mengetahui kebenaran tapi mengingkarinya. Golongan terakhir adalah: (1) dan (2) mereka yang tidak mengakui adanya pencipta, baik sempat mengakuinya atau tidak, namun disebabkan potensi penalaran mereka yang lemah, dan (3) penganut politheis, namun kepercayaan mereka diperoleh melalui proses penalaran hanya saja mereka melakukan kesalahan (terpleset) pada proses tersebut.
Sekarang kita akan membahas secuil perkembangan filsafat dan pemikiran-pemikirannya. Dalam filsafat Islam, filsafat Yunani terbagi menjadi dua periode, zaman Helienis atau Yunani (abad ke 6SM sampai abad ke 4 M) dan zaman Hellenistis-Romawi (abad ke 4S M-abd ke 8M). Setelah abad inilah lahir filsafat dari dunia Islam yang diantaranya dibawa oleh Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farobi sampai pada masa Ibnu Rusd, yang diikuti setelahnya oleh Suhrowardi, M. Iqbal dan lainnya sampai pada abad ke-13, namun untuk kali ini, kita akan melihat pemikiran dunia filsafat periode awal.
Pada periode awal, dunia filsafat Yunani diwarnai banyak aliran filsafat, masing-masing dengan perbedaan subtansial pada dasar pemikirannya, ada filsafat alam dari Militte dengan corak materealistis, leukippos dan demokritos dengan atomismenya, kaum Elea (metaafisis), Phytagoras (mistis dan matematis), kaum Sofis, juga tiga filosof besar, Sokrates, Plato dan Aristoteles, dalam Al-Munqidz min Al-dholal, Al-Ghozali menyederhanakan aliran-aliran filsafat yang ada menjadi tiga aliran: Pertama, materealis (Zhohriyyun). Aliran ini meyakini bahwa alam ini telah ada sejak dulu tanpa didahului dari ketidakadaannya, dan akan selalu demikian adanya. Mereka pun tidak menyetujui adanya pencipta bagi alam ini. Kedua, naturalis (Thob'iyun). Aliran ini sedikit berbeda dari aliran sebelumnya, penganut aliran ini begitu terpesona dengan alam beserta fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya, dan membawa mereka berkesimpulan, alam ini pasti diciptakan. Namun keterpesonaan terhadap alam materi juga membuat mereka mengingkari segala hal yang non-materi, seperti pendapat mereka, jiwa manusia akan hancur begitu jasadnya mengalami kematian. Dengan begitu, mereka tidak memercayai adanya hari pembalasan. Ketiga, Atheis (Ilahiyyun). Termasuk dalam kelompok aliran ini, Sokrates, Aristoteles, dan Plato yang menjadi guru bagi filsafat Islam seperti Ibnu Sina, Al-Farabi dan lainnya, meskipun memiliki dasar pemikiran yang berbeda, namun mereka semua mengakui eksistensi sang pencipta, jiwa manusia dan hari kebangkitan, meski demikian, dalam pemikiran-pemikiran aliran ini masih terdapat hal yang membawa mereka dan para pengikutnya terpeleset pada jurang kekufuran.
Selanjutnya, dengan menpertimbangkan bahwa dasar akidah Islam mencakup pengakuan akan eksistensi pencipta alam dan mempercayai kehidupan setelah kematian, maka kaun materealis dan naturalis disebut Al-Ghozali sebagi zindiq, sementara untuk aliran terakhir, meskipun mengakui dua prinsip akidah tersebut, namun karena masih membawa keyakinan-keyakinan yang berbenturan dengan akidah Islam, Al-Ghozali dengan jelas menyatakan kekafiran mereka beserta filosof dari dunia Islam yang mengikuti filsafat mereka.
Sekarang tinggal satu pertanyaan yang tersisa, apakah filosof Yunani ini -yang hidup pada sekitar abad VI SM sampai abad IV SM- termasuk ahli fatroh atau tidak? Jika tidak, atas dasar apa kita memastikan mereka bukan ahli fatroh? Dan ketika tak ada dalil pasti yang menunjukan hal ini rasanya terlalu 'lancang' kita mengkafirkan mereka (bukan pemikiran mereka yang dikondisikan dengan syariat kita). Sebab, berarti masih ada kemungkinan bahwa mereka termasuk ahli fatroh, yang tentu membuat kondisi mereka berbeda, kini seandainya disepakati bahwa mereka termasuk ahli fatroh, maka menurut pendapat Asya’iroh, secara mutlak mereka tidak bisa dikafirkan. Sedangkan menurut Maturidi, hanya aliran materealis yang layak dikafirkan, sementara dua aliran lainnya tidak. Terakhir, saat mengikuti penjelasan An-Nawawi, rasanya sulit untuk mengkafirkan mereka. Dengan alasan kebanyakan ahli filsafat selalu mendasari keyakinan mereka dengan proses penalaran yang radikal, sejauh batas kemampuan akal manusia. Paling jauh, kita hanya bisa memasukkan mereka pada golongan ketiga, menyerahkan nasib mereka di bawah kehendak Allah.
Akhirnya, mengikuti pendapat Asya’iroh sebagai pendapat yang lebih diunggulkan dari pendapat lain, yang menyatakan akal dengan sendirinya tidak mungkin menjangkau pengetahuan tentang eksistensi sang pencipta -apalagi hukum syariat lain- sebagaimana pengakuan Al-Ghozali, maka mau tidak mau pernyataaan ulama harus kita arahkan pada khusus pada filosof dari dunia Islam yang mengikuti filosof Yunani, bukan filosof Yunani itu sendiri, karena dari sebuah karya yang menceritakan pemikiran dan sepotong perjalanan hidup salah satu dari mereka, kita bisa melihat latar belakang kepercayaan masyarakat Yunani saat itu yang menganut politisme. Hampir tidak pernah di singgung adanya agama murni, mungkin hal ini bisa membuktikan bahwa saat itu tak ada ajaran tauhid, namun kita juga tidak punya bukti bahwa mereka menerima ajaran tauhid, dan ketika tidak ada  kepastian, kita tak bisa menjatuhkan sebuah keputusan. Apalagi vonis kafir.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk membela mereka, para pendiri ilmu filsafat. Sekali lagi, tidak sama sekali, semua ini hanya upaya menyingkirkan kemusykilan yang timbul dari permasalahan di atas. Mungkin saja pemutlakan kekafiran ulama terdorong oleh perhatian mereka terhadap pengaruh pemikiran filsafat bagi akidah umat Islam, dari pada memikirkan nasib filosof-filosof tersebut di akhirat kelak, karena di samping tak ada kepastian ke-fatrohan mereka, juga ada  kemungkinan bahwa keumuman dalil yang diajukan Asya’iroh tidak mutlak, tapi bisa juga dihususkan oleh sebuah Hadist shohih, jadi mungkin jawaban yang paling tepat untuk judul di atas adalah "Wallahu A’lam".


KONSEPSI KAJIAN LINTAS MADZHAB
SOLUSI PROBLEMATIKA SOSIAL MASYARAKAT
Oleh: Ahmad Asyrofi, I Aliyah, MUS.

            Sebagaimana diakui banyak kalangan, masyarakat Indonesia, terkhusus kelompok yang mengakui keharusan bermadzhab, mempunyai tradisi yang telah mengakar kuat untuk hanya mengakui satu madzhab tertentu, terkesan menganggap tabu untuk berpindah madzhab kecuali pada keadaan yang tidak memungkinkan, atau bisa dikatakan dalam kondisi darurat.
            Monopoli madzhab Syafi'I yang sebagai satu-satunya madzhab yang bisa diterima secara luas oleh seluruh masyarakat Indonesia, membuat madzhab-madzhab yang lain sangat sedikit mendapat kajian apalagi dipertimbangkan untuk menjadi solusi dalam mengatasi problematika social. Dan seandainya diangkat pun seringkali hanya memunculkan pro dan kontra dari masyarakat, dan terkadang menciptakan friksi tanpa adanya jalan tengah yang bisa mendamaikan.
            Sekarang kita akan mencoba membahas fenomena yang jamak terjadi di sekitar kita melalui berbagai sudut pandang, kacamata, dan perpektif yang berbeda dan kemudian menilainya secara obyektif sebagai kajian yang dapat menghasilkan beberapa kesimpulan serta merangkainya menjadi sebuah konsep yang mampu membentuk kerangka guna membangun masyarakat dengan kondisi yang lebih baik.
            Rasanya sudah sangat jelas bagi kita, dalam hal bermadzhab, bagaimana para ulama kita menjelaskan tata tertib, aturan-aturan serta pola mengikuti pendapat seorang ulamadalam urusan-urusan keagamaan. Kita pun memiliki pendapat kuat yang memperbolehkan berpindah madzhab, baik secara total maupun dalam beberapa permasalahan tertentu dengan satu catatan penting. Bahkan meski tak ada pendorong apapun selain hanya ingin mengikuti madzhab tertentu. Tanpa menafikan pendapat lain, dengan berpegang pada pendapat ini seharusnya solusi pemecahan problematika sosial masyarakat kita akan semakin terbuka dengan semaikn banyaknya pendapat hukum yang bisa kita pertimbangkan untuk kemudian ditawarkan kepada masyarakat luas. Sebab jika hanya mempertimbangkan atau mengikuti pendapat-pendapat dalam lingkaran sebuah madzhab, dan terkadang kita juga harus dihadapkan pada situasi-situasi sulit, rumit, pelik, bahkan buntu dalam upaya memecahkan permasalahan masyarakat.
            Tidak bisa dipungkiri, keadaan lingkungan yang menjadi tempat tinggal dalam interaksi sosial kita adalah masyarakat dengan kondisi yang sangat beragam, plural, dan digerakkan oleh sistem kehidupan yang menuntut masyarakatnya untuk selalu mengikuti setiap putaran roda kehidupan yang begitu cepat, jika tidak mau ketinggalan dan tergerus zaman. Hal ini mau tidak mau berdampak pada makin kompleksnya permasalahan yang mungkin dihadapi masyarakat. Jika masalah-masalah ini terus dibiarkan tanpa ada jalan keluar yang bisa diterima secara luas, maka akan terjadi kekacauan pola pikir kehidupan masyarakat, disebabkan tidak adanya hal yang bisa mengkompromikan tuntutan kehidupan dan tuntutan keagamaan (baca: agama) yang dianut mereka. Untuk itu, sikap yang tepat adalah terus mengupayakan sesuatu yang bisa ditawarkan sebagai pemecah permasalahan sosial masyarakat tanpa keluar dari batasan syari'at, tapi juga tidak mempersempit batasan-batasan itu sendiri, salah satunya dengan melakukan kajian-kajian terhadap madzhab-madzhab yang ada.
            Sebelumnya kita harus menyadari bahwa nilai esensial dari aturan-aturan syari'at, khususnya aturan dalam konteks kehidupan sosial, adalah menciptakan stabilitas umum dan menekan kemungkinan terjadinya konflik di antara masyarakat dalam segala aktivitas sosial mereka. Dengan begitu, pada dasarnya aturan syari'at sama sekali tidak mengekang ataupun mempersempit kebebasan masyarakat dalam mengolah kehidupannya, melainkan memberi batasan agar mereka tidak keluar dari garis-garis kehidupan yang semestinya. Sehingga peradaban yang sedang dibangun tidak dihancurkan oleh perbuatan mereka sendiri. Kita akan menemukan bukti atas semua ini jika kita mau memahami teks-teks karya fiqh secara mendalam. Dengan melakukan pendekatan sosio-historis dan aspek-aspeklain, kita dapat melihat kesempurnaan aturan-aturan Islam yang terepresentasikan melalui hukum-hukum fiqh dalam upaya menciptakan suasana kondusif pada sebuah masyarakat. Yang lebih penting lagi, semua aturan ini bukan hanya sekedar konsep-konsep kosong, tapi memang sangat logis untuk diaplikasikan pada kehidupan nyata. Nah, sekarang ketika kita menemukan sebuah masyarakat dengan kondisi sosial yang jauh berbeda, kita pun dituntut untuk menerjemahkan aturan-aturan yang telah ada sesuai dengan aktual masyarakat kita.
            Adapun sesuatu yang alamiah, jika dalam usaha memenuhi kebutuhan, manusia selalu berusaha menciptakan cara atau perangkat baru yang membantu mereka meraih apa yang menjadi tujuan dengan lebih mudah. Seperti biasanya setiap hal tentu punya dua sisi, sisi baik dan sisi buruk. Untuk menilai apakah cara tersebut layak digunakan kita lihat, jika pada dasarnya cara tersebut berpotensi merugukan, maka lebih baik kita tinggalkan, sementara jika tidak, kita pun bisa menerimanya sebagai hal baru yang patut disyukuri. Asalkan tidak berbenturan dengan prinsip ataupun teks-teks eksplisit syari'at, bahkan pada pentafsiran pertama ketika hal tersebut berpotensi menciptakan benturan-benturan pada kehidupan sosial jika memang ada tuntutan kebutuhan masyarakat luas, maka kita perlu mempertimbangkannya serta berupaya menetralisir sisi negatif yang dibawa, dengan cara menetapkan aturan-aturan tambahan yang tidka boleh dilupakan. Semua pertimbangan ini harus didasarkan dan selalu berpedoman pada prinsip-prinsip syari'at Islam.
            Setelah memperhatikan uraian panjang di atas, bisa dimengerti mengapa dalam upaya memecahkan problematika sosial masyarakat, kajian lintas madzhab perlu dipertimbangkan. Sebab jika memang telah ditemukan solusi yang pas dari sebuah madzhab yang diakui mayoritas masyarakat, tentu hal ini sudah jelas. Tapi bagaimana jika tidak, situasi inilah yang akan membuat keadaan semakin rumit. Saat ini kita terus memaksakan hanya mengambil pendapat dari satu madzhab. Karena sering kali situasi ini menggiring kita kepada pencocokkan atau peng-ilhakkan dua hal berbeda dalam banyak sisi. Atau pada kesempatan lain bersikukuh tetap berpegang pada teks-teks yang ada. Semenatar, seandainya mau melangkah lebih maju lagi, kita akan menemukan solusi yang tepat dari khazanah madzhab lain. Akibatnya, kita pun terpaksa menawarkan solusi yang sulit diterima masyarakat. Selanjutnya pada saat permasalahan yang kita hadapi adalah sebuah pendukung kehidupan yang telah berlaku umum pada sebuah masyarakat, mereka pun terdesak untuk keluar dari batasan-batasan syari'at. Daripada harus terjebak untuk mencarikan legalitas syari'at bagi persoalan masyarakat dengan cara yang tidak dibenarkan. Apalagi jika tetap seperti ini, dikhawatirkan sikap kita bisa dikatakan mempersempit keluasan yang telah diberikan syari'at untuk umat. Padahal sebenarnya pandangan kita sendirilah yang telah dipersempit oleh keengganan kita menelaah kekayaan kajian ulama di masa lalu. Wallahua'lam.




















SELAMATKAN NU-MU!
Oleh: Ahmad Asyrofi, I Aliyah, MUS.

Kerangka pemikiran yang membangun ideologi JIL sebenarnya sangat rapuh. Kenyataan ini melemahkan asumsi bahwa tujuan ideology yang mereka perjuangkan adalah mencari kebenaran sejati. Dan sebaliknya untuk menguatkan dugaan, gerakan mereka sejatinya hanyalah sebuah bentuk propaganda untuk melemahkan dan menghancurkan pondasi-pondasi islam yang telah berdiri kokoh berabad abad lamanya dan berkamuflase dengan menggunakan atribut islam untuk menutupi maksud utamanya. Sebab, seandainya saja asumsi pertama benar, seharusnya mereka tak perlu ngotot mempertahankan pemikiran yang dibangun atas dasar argument dan paradigma yang telah terbukti lemah, adalah suatu kesalahan fatal bagi seorang pencari kebenaran sejati untuk tetap berpijak pada argumen lemah dalam usaha menggapai tujuan.
Berarti, kita boleh sepakat menabuh genderang perang melawan liberalisasi islam dengan segala macam bentuknya. Namun demi menghasilkan kemenangan kita mesti memahami terlebih dahulu seluk beluk, latar belakang serta kekuatan dan kelemahan lawan kita. Nah, sebagai pijakan dasar ada sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab sebelumnya. Mengapa faham yang mereka tawarkan laris manis diterima sebagian masyarakat, terutama kaum mudanya padahal hanya berdasar pada pola pikir serampangan. Bahkan lebih jauh, mereka mampu menembus struktur organisasi yang dipenuhi ulama-ulama hebat. Perlu diingat juga, perang yang sedang kita hadapi adalah perang ideologi. Tentunya senjata yang kita butuhkan bukanlah pedang, senapan atau senjata militer lainnya. Karena dengan hanya berbekal senjata seperti tadi kita hanya mampu memusnahkan manusia-manusianya saja, tidak dengan hasil pemikirannya. Dan selama pemikiran itu belum dihancurkan hingga ke akar-akarnya, maka suatu saat dengan mudah pemikiran tersebut akan muncul kembali dengan wajah baru. Dengan begitu, sangat jelas betapa pentingnya sebuah media yang mampu memblok ideologi mereka serta mementahkan semua argument yang mendasarinya agar tidak sampai mempengaruhi pola pikir masyarakat kita. Tapi sayangnya salah satu media itu kini berada dalam bahaya. NU, ormas yang mengusung dan memperjuangkan faham ahlus sunnah dan telah memiliki pengaruh luas di Indonesia, malah harus menghadapi bahaya liberalisasi dalam tubuh keanggotaan strukturalnya sendiri.
Sebagai informasi tambahan, menurut Laode Ida dalam "NU Muda"nya, sebenarnya cikal bakal ancaman yang tengah dihadapi NU saat ini telah dimulai sejak lama. Diawali dengan terpilihnya mendiang Gus Dur, yang mewakili generasi muda NU saat itu, menjadi ketua PBNU pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Sejak saat itu NU memiliki dua kubu besar yang saling bertentangan. Yang pertama berada di belakang kiai-kiai sepuh dengan ciri berwatak tradisional (konservatif). Di pihak lain, muncul kubu pembaharu (progresif) yang dimotori Gus Dur. Kubu yang terakhir ini, dengan generasi mudanya berhasrat mendobrak sistem lama yang dirasa kurang cocok dengan semangat demokrasi dan alam modern. Salah satunya adalah tradisi sikap patronasi (menjadikan suri tauladan) berlebih yang telah mendarah daging di kalangan warga NU selama ini yang merupakan bentuk kelaziman latar belakang pesantren yang dibawa mayoritas warganya. Dengan duduknya Gus Dur di tampuk kepemimpinan organisasi, kalangan NU progresif pun semakin mudah menancapkan pengaruhnya dan mulai mendominasi control dalam menentukan arah perjuangan keorganisasian NU. Gesekan dua pola pikir di dalam NU ini masih tetap adem ayem -mungkin karena masih dianggap sebagai perbedaan yang membawa rahmat- sampai pada akhirnya Gus Dur mulai "berulah" dengan sering mengorbankan perasaan warga nahdliyin sendiri hanya demi membela kepentingan golongan minoritas di negeri ini. Meskipun sikap "beliau" diakui menyakitkan, berkat rasa patrilineal (sistem pengelompokan sosial yang mementingkan garis keturunan dari jalur ayah) yang kental, warga nahdliyin masih saja mentakwil berbagai kenyelenehan Gus Dur. Maklum saja, Gus Dur itu kan "gus triple" dan mewarisi gen pendiri NU. Jadi selalu saja ada rasa ewuh pakewuh, untuk menegur atau mengingatkan kalau-kalau berbuat keliru. Baru sekitar lima tahun belakangan saat kesabaran warga NU habis atau mungkin juga mulai sadar untuk membuka mata labar-lebar. Mereka tidak bisa lagi mentolerir kenyelenehan Gus Dur yang semakin menjadi-jadi dan semakin tidak bisa didiamkan. Kalau saja yang terjadi memang demikian, berarti sudah dua puluh lima tahun lebih benih-benih liberalisme tumbuh subur di dalam tubuh NU. Dan bisa dibayangkan seberapa kuat dan besarnya pengaruh liberalisme terhadap arah pemikiran warga NU.
Sampai sejauh ini, secara garis besar sebagai jam'iyyah kemasyara-katan, arah perjuangan NU memang masih tetap berpegang pada dasar-dasar akidah Ahlussunnah, meskipun ada juga sebagian kalangan yang mengatakan NU semakin liberal. Yang perlu dikawatirkan bisa saja dalam beberapa tahun kedepan ideologi yang sudah mapan ini akan segera berge-ser seiring menguatnya pengaruh kader-kader JIL pada jajaran kepenguru-san organisasi. Dengan wewenang lebih, tentu mereka akan leluasa melakukan manuver-manuver politiknya dalam rangka merubah pola pikir NU, baik dalam sisi jam'iyyah maupun jamaahnya menuju corak berpikir lilberal. Sekarang, ketakutan akan hal ini semakin tampak nyata dengan hadirnya tiga kandidat ketua PBNU untuk periode mendatang yang sering diberitakan berpandangan liberal. Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana orang-orang seperti Ulil Abshor bebas melangkah sampai sejauh ini tanpa ada usaha menghentikan atau kasarannya (lebih kasar lagi red) memboikot mereka beserta pemikirannya dari tubuh NU. Bukankah disana masih banyak kyai-kyai yang selalu memperjuangkan dan menjaga akidah masyarakatnya dari setiap hal yang berpotensi menjerumuskan pada kesesatan?! Yach, harus disadari memang, NU sendiri hidup ditengah-tengah kebangsaan yang demokratis, profan dan plural. Selain itu, wajah NU juga sudah banyak berubah. Kini NU tidak lagi hanya milik kalangan yang mligi dari pesantren. Tapi juga milik mereka-mereka dengan basic non-pesantren. Maka dengan sendirinya, masing-masing dari pihak ini harus disinergikan agar tidak memunculkan benturan di dalam orientasi perjuangan NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan. Kemudian, kenyataan bahwa demokrasi di Indonesia lebih cenderung bersifat liberal, suatu sitem politik yang begitu getol membela kebebasan hak berpendapat, menjadi kesulitan tersendiri untuk mengcounter faham-faham baru, meskipun jelas-jelas menyimpang dan berpotensi merusak tatanan masyarakat. Jadi, sekeras apapun kita meneriaki sesat, mereka tak mungkin berhenti, karena merasa apa yang mereka lakukan sah-sah saja, apalagi sampai harus takut pada pencekalan oleh UU. Dengan demikian jalan yang tersisa, kita harus menghadapi dengan terbuka.
Tidak kalah penting, mungkin perlu adanya kesepakatan mengenai batasan-batasan sampai dimana suatu pendapat dikatakan liberal dan mana yang sekedar penyesuaian dengan perkembangan atau perubahan kondisi yang ada, tapi masih dalam batasan yang dibenarkan, sebab sepertinya setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri tentang liberalisme. Terkadang hanya berargumentasi dengan logika, seseorang bisa memvonis anda liberal. Bukankah yang semacam ini terlalu dilebih-lebihkan, malahan semakin mengaburkan esensi liberalisme sendiri. Ujung-ujungnya, bisa-bisa setiap orang dicap liberal oleh yang lainnya. Ini memang masalah sensitif, kita tidak bisa sembarangan memvonis atas suatu pernyataan tanpa memahami secara utuh pernyatan tersebut. Kalau masih bisa didiskusikan, kenapa tidak, dari pada harus saling serang argumen yang bisa menjurus kedebat kusir, bukannya menghasilkan kesepakatan, yang ada malah mem-pertajam perselisihan.
Akhirnya sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk menghada-pi tantangan dimasa depan yang saat ini sudah muncul di depan mata. Dan, terserah anda memilih aktif terlibat dalam organisasi NU atau sekedar menjadi warga NU, selamatkan kendaraan yang berfungsi mengakomodir langkah dan tujuan kita ini dari segala ancaman ideologi yang menyim-pang. Namun juga tidak boleh dilupakan NU itu terbuka bagi siapa saja tanpa memandang latar belakang mereka. Dan untuk mampu bertahan hi-dup ditengah masyrakat yang plural, kita dituntut untuk bersikap toleran dan terbuka atau (open minded), tinggal nantinya bagaimana kita harus tegas menentukan garis, sampai sejauh mana toleransi masih dibenarkan. Terakhir, meskipun kita tidak boleh asal menuduh seseorang dikatakan liberal, namun kita tetap perlu mewaspadai bibit-bibit liberalisme yang tumbuh disekitar kita, apalagi dengan menyadari, pengaruh sebuah ideo-logi bisa masuk kepikiran seseorang tanpa pernah ia sadari, mulailah pe-duli dan tanggap terhadap orang-orang disekitar anda. Sebelum mereka berubah menjadi pribadi yang belum pernah anda kenal sebelumnya. Wal'iyadzbillah.



SEPARATISME DOKTRIN ISLAM
Oleh: Ali Ja'far, III Aliyah, Al Anwar

Pada suatu hari Umar bin Khotob mengeluh dan bertanya-tanya, mengapa umat Islam berbeda pendapat, sementara nabi mereka satu, dan kiblat mereka juga sama. Ibnu Abbas menjawab; “Al-Qur'an turun pada kita, dan kita membacanya, serta mengetahui betul masalah turunnya (asbabun-nuzul). Nanti, akan ada generasi, setelah kita yang membaca Al-Quran tetapi mereka tak mengetahui masalah sebab turunnya. Masing-masing punya pendapat sendiri-sendiri, tentang masalah tersebut, lalu timbul perbedaan pendapat hinga mereka saling cekcok, mempermasalahkan pendapat tersebut.”
Sebagai seorang sahabat yang memiliki kecerdasan intlektual luar biasa dalam menafsirkan ayat Al-Quran, jawaban Ibnu Abbas memang tepat. Apa yang diungkapnya adalah respon dalam menafsirkan ayat Al-Quran sebagai mana yang terdiktum dalam surah Al-An'am  ayat 153:
وأن هذا صراطي مستقيماً فاتّبعه ولا تتّبعوا السبل فتفرّق بكم عن سبيله 4 ذلكم وصّاكم به لعلّكم تتّقون. [الأنعام : 153]
Pendapat ini memang benar adanya, dan dimulai ketika sehari setelah kewafatan beliau Rasulallah, umat Islam mulai dilanda konflik perpecahan. Berawal dari perebutan kekuasan yang dilakukan oleh kelompok yang hanya mengakui dzuriah (keturunan) Rasulallah sebagai khalifah pengganti beliau (Syi'ah). Walaupun gerakan ini pada awalnya telah berhasil diminimalisir, tapi embrio yang berkembang terus tumbuh hingga berhasil menemukan wujud nyatanya di kemudian hari. Organisasi ini mula-mulanya hanya didorong oleh seputar wilayah perpolitikan, namun pada akhirnya beralih haluan dan cenderung mengarah pada permasalahan akidah (teologi) dan ideologi.
Pada waktu terbunuhnya Usman bin Affan, disusul dengan beralihnya kekuasaan pada Khalifah Ali, pengganti beliau, perselisihan dan pertentangan pendapat di antara kaum muslimin, telah memasuki fase baru, dalam fase ini perseteruan dan perselisihan pendapat telah memperoleh wujud konkritnya, dan menjelma menjadi berbagai bentuk aliran. Peperangan yang dipimpin Sayyidah Aisyah pada masa khalifah keempat dalam Perang Jamal, disusul dengan kudeta Mu'awiyyah dalam peristiwa tahkim, semakin memperburuk keadaan, serta ikut menyumbangkan perpecahan internal dikalangan umat Islam.
Diakui atupun tidak, perpecahan yang ada telah melahirkan dogma dan doktrin baru dalam Islam. Perpecahan tersebut terus berlanjut sampai saat ini, di mana aliran dan sekte baru dalam Islam sering bermunculan dan sulit dikendalikan dan berjalan semakin liar. Tidak dulu, tidak sekarang, masing-masing kelompok memiliki kekuatan yang sama, mereka memiliki visi dan misi yang siap dieksploitir untuk menghalau aliran atau faham lain yang berusaha mengintervensi  pemikiran dan ajarannya.
Dalam perpecahan yang begitu besar, tak jarang umat Islam terseret, terjebak, dan terperangkap ke dalam berbagai sekte yang hanya mengakui eksitensi kelompoknya. Faham lain di luar kelompoknya adalah sesat dan menyesetkan. Memang tak ada kekuatan yang dapat menghimpun, ataupun menyatukan pendapat yang beragam, apalagi pendapat tersebut sudah menjadi mainstreem bagi aliran tertentu. Lantas sejauh mana barometer dalam koridor ilmiah, yang menentukan sebuah aliran disebut sesat dan menyesatkan. Dan sejauh mana sebuah perbuatan dianggap bid'ah.
Pada suatu ketika, Imam Ali ditanya mengenai kelompok yang menentangnya. Apakah mereka itu menjadi kafir, sahabat Ali menjawab: “Tidak, mereka jauh dari kekufuran.” Lalu ada lagi yang bertanya, apakah mereka itu orang-orang munafik, beliau menjawab lagi: “Tidak, seorang munafiq tidak mengingat Allah kecuali sedikit, tapi mereka yang menghianatiku selalu berdzikir kepada Allah.” Lalu siapa mereka? Beliau pun menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang tertimpa fitnah, mata dan hati mereka buta, dan telinga mereka menjadi tuli.”[1]
Sudah menjadi konsensus para ulama, bahwasanya seorang yang telah berikrar dengan dua kalimat syahadah secara otomatis menjadi umat tauhid dan menjadi pengikut Nabi Muhamad, yang tak boleh dikafirkan, ataupun dibunuh. Darah dan kehormatan mereka dilindungi kecuali setelah mereka menerjang garis demarkasi Islam (huququl Islam). Maka dari itu umat Islam dari mana pun dan dari golongan apapun, yang masih tetap konsis pada khuququl Islam adalah satu, mereka ada pada level yang sama sebagai umat tauhid, walaupun telah melakukan dosa besar, dan asalkan  tidak menghalalkannya.
Sementara kelompok yang melempar konsep kufur dan iman, sebagai alat justifikasi (pembenaran) kelompoknya masing-masing atau sebagai wujud antipati kelompok lain, adalah bentuk kejahatan besar, kriminalitas yang tak dapat diampuni. Karena parameter yang digunakan untuk menentukan kufur dan iman adalah ideoloi masing-masing. Apa saja yang sesuai dengan ideologi kelompoknya adalah bersih dan benar, sebaliknya apa saja yang tidak sesuai berarti kotor, najis, kufur, zindik dan lain sebagainya.
Dalam sikap ekslusif dan fanatik yang berlebihan, perlulah kiranya kita menyimak sabda beliau Rasulallah, dan bercermin pada penuturan beliau salafus shalih.
قال الامام احمد:  إن الإيجاب والتحريم والثواب والعقاب والتكفير والتفسيق هو الى الله ورسوله، ليس لأحد في هذا حكم، وإنما على الناس إيجاب ما أوجبه الله ورسوله وتحريم ما حرمه الله ورسوله، وتصديق ما أخبر الله به2 (مجموع الفتاوى 5: [2]554)
قال ابن تيمية رحمه الله : الكفر من الأحكام الشرعية، وليس كل من خلف شيئا علم بنظر العقل يكون كافرا، ولو قدر انه جحد بعض صرائح العقول لم يحكم بكفره حتى يكون قوله كفرا في الشريعة.
Imam Ahmad berkata: “Sesungguhnya mewajibkan atau mengharamkan, memberi pahala atau siksa, mengkafirkan atau mefasiqkan adalah hak prerogatif Allah dan RasulNya, orang lain tak memiliki wewenang untuk membuat ketetapan, yang ada pada manusia hanyalah mewajibkan apa yang diwajibkan Allah dan RasulNya, serta mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan membenarkan apa yang dibawanya (Majmu' Al Fatawa 5;554)
Ibnu Taimiyah berkata (semoga dirahmati Allah): “Kufur itu mengingkari hukum syari'ah', dan seseorang tidak dikatakan kafir dengan hanya melanggar ketentuan yang hanya diketahui lewat eksplorasi akal, walaupun yang diingkari itu cukup mudah untuk diangan-angan ia tidak bisa dihukumi kafir sehingga apa yang diucapkan menjadikanya kafir menurut syariah''(Majmu' fatawa 5;525)
Pada waktu Umar bin Abdul Aziz naik tahta, beliau naik mimbar. Dalam pidatonya beliau tak lupa menyisipkan orasi keagamaan. Pidato itu berbunyi:
 أيها الناس انه ليس بعد نبيكم نبي، ولا بعد كتابكم كتاب، ولا بعد سنتكم سنة، ولا بعد أمتكم أمة ألا وان الحلال ما أحل الله في كتابه على لسان نبيه حلال الى يوم القيامة، ألا وان الحرام ما حرم الله في كتابه على لسان نبيه حرام الى يوم القيامة، ألا واني لست بمبتدع ولكني متبع، ألا واني لست بقاض ولكني منفذ، ألا واني لست بخازن ولكني اضع حيث امرت، ألا واني لست بخيركم ولكني اثقلكم حملا، ألا لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق. (الفرق بين الفرق) 
Hai segenap kaum muslimin, tak ada setelah nabi kalian Nabi baru, dan tak ada setelah kitab kalian (Al-Quran) kitab baru, tak ada setelah sunnah kalian sunah baru tak ada setelah umat ini umat baru, ketahuilah sesungguhnya halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitabNya melalui perantara NabiNya halal sampai hari kiamat, dan haram adalah apa yang haramkan Allah dalam kitabnya melalui perantara NabiNya haram sampai hari kiamat, ketahuilah aku bukan seorang pembuat bid'ah tetapi aku hanyalah pengikut, aku bukan seorang qodhi tapi aku hanya menjalankan perintah, aku juga bukan yang menentukan, tapi aku hanya meletakkan apa yang diperintah, aku bukan yang terbaik diantara kalian, tapi aku memanggul beban yang lebih berat, dan tak ada kepatuhan pada makhluk untuk melakukan ma'siat pada Tuhannya.''(Alfarqu baina al-firoq)
Sejak abad pertama Hijriyah, akidah ahlussunah wal jamah berada pada puncak kesakralan dan kemapanannya, orientasi peribadatan selalu merujuk pada akidahnya ahlussunah waljamah sebagai hakim penentu keselamatan dan kesesatan. Otensititas akidah dijaga betul melalui elemem-elemen kekuasaan dan tangan-tangan para Ulama, sehingga terus bertahan dalam keorisinilannya.
Seiring dengan denyut nadi perkembangannya, gerakan yang mengatasnamakan menjaga otensitas akidah, tergolong cukup massif, misalnya dengan memunculkan ''kampanye'' semua bid'ah sesat dan menyesatkan. Gerakan ini jelas mengorientasikan (memaksa) untuk senantiasa tunduk pada pemahaman yang dangkal dan primitif dalam mema'nai assunah. Dalam pemahaman mereka tak ada bid'ah kecuali sesat. Padahal ruh Islam menghendaki adanya klarifikasi (penjelaan) terhadap berbagai bid'ah yang ada. Hadits Rasulullah yang menyebutkan:
كلّ بدعة ضلالة وكلّ ضلالة فى النار
“Setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan ada dalam neraka.”
Harus bisa dipahami secara integral, dengan kata lain tidak semua bid'ah itu dilarang, dan harus diberanguskan, dengan tanpa adanya peninjauan ulang kepada bid'ah yang dimaksud. Mengutip pendapat Asy Syathibi, “Bid'ah yang dimaksud adalah suatu cara dalam agama yang diciptakan untuk menyamai aturan syara', dengan tujuan untuk dilaksanakan sebagai mana melakukan perintah perintah syara’.” (Al-i'tishom)
Yang dimaksud Imam Asy-Syathiby, tentu saja cara atau metode peribadatan yang berlawanan dengan syara', dan keluar dari kepatuhan terhadap agama. Karena bila terdapat illath (alasan) pendukung untuk dilaksanakannya bid'ah tersebut, tidak menutup kemungkinan menjadikannya sebagai bid'ah yang wajib. Atau faktor yang ada sejalan dengan dengan dalil-dalil assunah, maka dapat pula dianalogikan sebagai bid'ah hasanah, sesuai dengan kaidah ushul fiqh: (الحكم يدور مع علته وجودا وعدما). Hukum itu berputar sesuai illatnya ada atau tidak. Pendek kata pengertian bid'ah tidaklah statis atau baku dalam satu pengertian, semuanya dapat berubah secara dinamis, dan berkembang sesuai illat yang mendukung terciptanya bid'ah tersebut.
Sebuah contoh kecil yang sering diungkap dalam kitab turast adalah shalat tarawih berjama'ah, yang tak ada pada zaman Rasullah. Ritual ini biasa dilakukan oleh masing-masing individu, baru kemudian pada zaman Umar RA. kaum muslimin dikumpulkan untuk melaksanakan shalat tarawih berjama'ah. Kebijakan ini tidak bisa dianggap bida'ah, karena bila itu terjadi, maka berarti para sahabat telah melakukan kejahatan [dosa] secara kolektif. Padahal banyak hadist yang menyebutkan, mereka adalah hamba yang taat. Bahkan ada yang sudah dijamin masuk surga. Maka sangat mustahil sekali bila mereka tidah mengindahkan larangan yang berasal dari Rasulallah SAW.
Seharusnya umat Islam mampu memahami sabda Nabi Muhamad dengan cermat, komprehensif dan integral, tidak secara parsial ataupun setengah-setengah. Pendek kata Khulafa-Arrasyidun saja, sebagai penerus etos kenabian tidak pernah memandang semua bid'ah buruk, dan harus diberangguskan. Lihat saja perkatan Umar RA. Mengenai shalat tarawih, “Sebaik-baiknya bid'ah ini.”
Syeh Ali Mahfudh, mufti Al-Azhar, dalam kitabnya "Al Ibda' fi madhor-al-ibtida'" menjelaskan dengan maksud yang sama: “Bid'ah yang dilarang adalah perkara yang bertentangan dengan Al-Quran ,hadist dan ijma' tapi bila perkara itu sejalan dengan maqoshid as-syari'ah, maka bisa dilegalkan."
Walaupun bid'ah hasanah diperbolehkan sumbernya harus jelas, dan diambil dari Al-Quran, penjelasan dari assunah dan keterangan dari para sahabat. Jika keterangan itu telah disepakati, maka tak ada alasan bagi seseorang untuk menentang ataupun meninggalkannya. Namun jika keterangan tersebut masih diperselisihkan, maka harus di tarjih dulu mana pendapat yang lebih kuat.
Konklusinya, siapapun yang menambahkan sesuatu yang baru dalam agama (bid'ah), tanpa pijakan hukum yang jelas, atau malah bertentangan dengan induk dasar syariat Islam, maka jelas orang itu telah merendahkan nash Al-Quran dan menghina penjelasan dari Rasulallah. Serta menuduh Nabi Muhammad S.A.W. telah korupsi dan berkhianat terhadap risalah, padahal Allah SWT telah berfiman:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام ديناً. [المائدة : 3]
Pada hari ini telah Kusempurnakan agama kalian, dan Kusempurnakan pula ni'mat-nikmat kalian, dan Kuridhoi Islam sebagai agama kalian.
Sesuatu yang baru dalam agama dan peribadatan, jelas tidak diperbolehkan, apapun alasannya, walaupun dengan dalih apa yang dilakukan sebagai mediator (wasilah), untuk lebih mendekatkan diri pada Allah. Orang Arab misalkan, di waktu permulaan kufur mereka adalah membuat patung sebagai mediator untuk lebih mendekatkan diri pada Allah. Al-Quran sendiri menyebutkan dalih mereka:
ألا لله الدين الخالص والذين اتّخذوا من دونه أولياء ما نعبدهم إلاّ ليقرّبونا إلى الله زلفى إن الله يحكم بينهم في ما هم فيه يختلفون. إن الله لا يهدي من هو كاذب كفّار. [الزمر : 3]
 Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.




[1] Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, "Mafahim Yajib An Tushohhah".
[2] Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, "At Tahdzir minal Mujazafah bit Takfir".