MENGUPAS CERITA
ISRA’ILIYYAT
Oleh: A. Shodiq Wijaya Al
Madury, Ma’had Aly I, MUS
PENGANTAR:
Sejarah merupakan suatu hal yang
sangat urgen untuk dipelajari. Karena dengan sejarah, kita bisa mengetahui
biografi serta perjalanan hidup orang-orang terdahulu, baik yang telah mencapai
kesuksesan atau malah sebaliknya. Sehingga dengan ini bisa mengambil pelajaran
(i’tibar) dari sejarah tersebut, serta meneladani perilaku baik mereka dan
menjauhi kejelekan mereka. Hal ini disinggung dalam Al-Qur’an surat Yusuf:
لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ
لِأُولِي الْأَلْبَابِ.
Artinya : "Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal." ( QS Yusuf : 111 )
Lantas, sejarah semacam apa yang
perlu dan layak kita ketahui? Apakah sejarah yang mengandung fiktif, atau yang
bagaimana? Lalu bagaimana kalau kita membaca sejarah Isro’iliyyat yang
kontroversial di kalangan ulama’,
bolehkah kita mengkomsumsi serta mempelajarinya? Dalam kesempatan ini, kami
ingin mencoba mengupas sejarah Isro’i-liyyyat. Apa Isro’iliyyat itu? Bagaimana Isro’iliyyat
itu tumbuh subur di kalangan umat Islam dan banyak dijumpai di sendi-sendi
kutub at-tafsir?
Isro’iliyyat adalah kisah
tentang umat terdahulu dan para nabi sebelum nabi Muhammad diutus. Sejarah itu
hanya ditemukan dalam kitab Taurat dan Injil yang masih orisinil (belum
mengalami distorsi serta penambahan dari para pendeta). Di kedua kitab ini, Isro’iliyyat
diterangkan begitu jelas dan lengkap, berbeda dengan Al-Qur’an yang terkadang
hanya menyebutkan secara global. Dan sejarah ini biasanya diceritakan oleh
orang-orang Yahudi yang masuk Islam.
Sejarah Munculnya Cerita Isro’iliyyat Dalam Kutub At-Tafsir.
Bangsa Arab adalah bangsa yang
mayoritas penduduknya minim pengetahuan, dengan kata lain ummy. Kehidupan
mereka seperti ini disinggung oleh Al-Qur’an dalam surat Al-Jumu’ah:
هوالذى بعث فى الأمّيّين
رسولاً منهم يتلوا عليهم آياته ويزكّيهم ويعلّمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل
لفي ضلال مبين.
"Dialah yang mengutus
kepada kaum yang buta huruf, seorang rasul diantara
mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan mereka kitab dan hikmah (As-sunnah) dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Qs Al-Jumuah: 2)
Kondisi
orang Arab yang demikian ini, sangat kontras dengan kondisi ahli kitab yang
saat itu hidup di tengah-tengah mereka. Di kalangan ahli kitab banyak yang
memiliki wawasan dan pengetahuan, lebih-lebih yang menyangkut sejarah umat
terdahulu serta sejarah para nabi. Hal ini dikarenakan mereka memiliki warisan
kitab yang telah disampaikan secara turun temurun oleh para nabi serta ulama
sebelum mereka. Namun pengetahuan yang mereka miliki ini tidaklah begitu
mendalam seperti pendeta dan rahib-rahibnya. Mereka hanya memiliki pengetahuan
selayaknya orang awam dalam bidang ini. Sebagian besar dari mereka yang memiliki
pengetahuan seperti di atas, adalah kabilah Humair, yang memeluk agama Yahudi.
Namun setelah munculnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad di
tengah-tengah kebodohan orang Arab, banyak dari kalangan mereka yang mengikuti
ajaran baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad, terlebih ketika Nabi hijrah ke
Madinah. Di sana beliau mendapat sambutan hangat dan diterima dengan lapang
dada oleh penduduk Madinah, sampai pada akhirnya banyak dari ahli kitab yang
tunduk mengikuti agaran beliau, terlebih orang Yahudi, karena di Madinah
kebanyakab didominasi oleh orang Yahudi ketimbang orang Nasrani.
Nabi
Muhammad sebagai utusan Allah (Rasulullah) tidak berbeda dengan para utusan
sebelumnya, yakni sama-sama mendapatkan wahyu (yang berupa Al-Quran). Bahkan
wahyu yang diterima beliau justru merupakan mukjizat paling agung, yang tidak
mampu ditandingi orang-orang kafir yang mendustakannya. Orang Arab yang semula
adalah penduduk yang mayoritas ortodoks dan terbelakang, kini dengan hadirnya
Nabi Muhammad dengan ajarannya serta Al Qur’an, berubah drastis menjadi
penduduk yang maju serta memiliki wawasan luas dan pengetahuan yang dalam.
Berangkat dari Al Qur’an, mereka belajar untuk maju, dengan memahami kandungan
makna yang tersirat di dalamnya. Sehingga tidak heran, jika setelah itu di
kalangan sahabat dan kurun setelahnya banyak ditemukan ahli tafsir. Namun
ketika merasa kesulitan memahami Al Qur’an saat menjumpai ayat yang berkaitan dengan
kisah umat terdahulu dan para nabi sebelum Nabi Muhammad, seperti kisah Ashabul
kahfi, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dll (karena dalam Al Qur’an, kisah itu
diceritakan secara global, tidak seperti dalam kitab Taurat dan Injil). Banyak
dari mereka bertanya kepada ulama’ ahli kitab yang masuk Islam, seperti
Abdullah bin Salam, Ka’ab al Ahbar, Wahb bin Munabbih dll. Sejak itulah banyak
mufassir yang memasukkan cerita-cerita Isra’iliyyat di dalam tafsir mereka,
tanpa diteliti terlebih dahulu apakah cerita itu fakta atau fiktif? Mereka
hanya berpegang terhadap apa yang disampaikan ahli kitab.
Menyikapi Hadits Nabi Tentang
Isra’iliyyat
Dalam hadits Bukhari disebutkan
bahwa Rasulullah bersabda:
لاتصدّقوه ولاتكذّبوه وقولوا آمنّا بالله
وما أنزل إلينا (رواه البخاري )
"Janganlah kalian membenarkan atau mendustakan (cerita
ahli kitab), dan katakanlah: aku beriman kepada Allah serta kitab yang
diturunkan-Nya kepada kami." (HR.Bukhori).
Sepenggal arti hadits di atas,
mengindikasikan bahwa Rasululloh melarang para sahabatnya dalam mengadopsi
apa-apa yang dibawa oleh ahIi kitab, menyangkut pengetahuan yang mereka
pelajari dari kitab. Namun Rasulullah tidak langsung menegaskan bahwa apa yang
diceritakan oleh ahli kitab adalah suatu kebohongan atau kebenaran. Dalam hal
ini, sebagian ulama’ menanggapi bahwa larangan beliau kepada sahabatnya itu
dimungkinkan beberapa faktor, yang diantaranya adalah:
1. Rasulullah menghawatirkan
terjadinya fitnah di kalangan sahabat, karena saat itu syari’at Islam masih
belum sempurna. Sehingga dikhawatirkan terjadinya percampuran antara syari’at Islam
dengan syari’at ahli kitab yang telah dinasakh dengan terutusnya Nabi.
2. Bahwa kitab-kitab yang berada
di tangan mereka adalah kitab yang masih diragukan keasliannya, karena kitab
tersebut sudah mengalami perubahan yang dilakukan oleh para pendeta-pedeta
mereka dengan menyisipkan berbagai ajaran yang sebenarnya tidak ada dalam kitab
aslinya. Semua itu mereka lakukan dengan motif ingin mendapatkan keuntungan
dunia semata. Oleh karena itu, wajarlah jika Nabi melarang para sahabatnya
untuk mengadopsi dan menyampaikan berita yang didapat dari ahli kitab.
Dalam
hadits lain, Nabi bersabda:
بلّغوا عنّي ولو آية, وحدّثوا عن بني
إسرائيل ولاحرج......الحديث (رواه البخارى)
Hadits di atas mengimplikasikan
bahwa Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk mengadopsi atau menceritakan
segala yang datang dari Bani Israil (Yahudi). Sebenarnya, hadits ini tidak
bertentangan dengan hadits pertama, dikarenakan hadits yang pertama menurut
para ulama’, larangan Nabi saw disebabkan adanya faktor-faktor tertentu,
seperti yang dijelaskan di atas. Sedangkan dalam hadits kedua ini, Nabi
memperbolehkan (mengambil cerita Bani Israil) karena kondisi sahabat pada saat Nabi
menyampaikan hadits ini berbeda dengan kondisi mereka saat menyampaikan hadits
yang pertama. Yakni, saat penyampaian hadits ini syari’at Islam sudah sempurna
dan tidak dimungkinkan terjadinya fitnah. Namun, kebolehan menyampaikan cerita
isra’iliyyat ini selama tidak nyata kebohonganya. Dengan demikian, jelas sudah,
bahwa antara kedua hadits ini tidak terdapat pertentangan satu sama lain.
Respon Sahabat Terhadap Cerita
Isra’iliyyat
Ibnu Abbas serta sahabat
lainnya, sering kali berinteraksi dengan orang-orang Yahudi yang masuk Islam.
Kadang-kadang mereka bertanya kepada para tokoh Yahudi mengenai permasalahan
yang tidak bersingungan dengan akidah dan ajaran-ajaran agama. Mereka hanya bertanya sebatas cerita umat
terdahulu yang diterangkan dalam kitab mereka. Akan tetapi, walaupun mereka
bertanya, kalau sudah mendapatkan tanggapan dan jawaban, tidak lantas menerima
begitu saja jawaban tersebut, sehingga disesuaikan dengan akal dan agama, baru
mereka ambil. Sebaliknya jika tidak sesuai dengan akal dan agama, jawaban
itu mereka abaikan begitu saja.
Sikap Tabi’in Periode Setelahnya
Terhadap Isra’illiyyat
Pada periode tabi’in banyak ahli
kitab yang telah masuk Islam, tidak seperti pada periode sahabat. Pergaulan dan
interaksi antara mereka hal yang langka, karena justru dengan itulah terbentuk
citra persatuan umat Islam. Di dalam pergaulan sehari-hari, saling bertanya
adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Kondisi tabi’in saat itu tidak
sama dengan kondisi sahabat. Lebih-lebih periode setelah tabi’in. Kecenderungan
mereka terhadap cerita Isra’iliyyat sangat besar sekali, sehingga mereka selalu
bertanya tentang suatu hal yang berkaitan dengan cerita Isra’iliyyat yang ada
dalam Al Quran dan mereka langsung menampung jawaban itu tanpa meneliti
terlebih dahulu terhadap keabsahan jawaban itu sendiri. Sehingga banyaklah
penafsiran-penafsiran Al Quran dengan cerita Isra’iliyyat yang mereka kutip
langsung dari orang-orang ahli kitab.
Klasifikasi Isra’iliyyat
Sesungguhnya, Isra’iliyyat sama
halnya dengan kisah-kisah lainnya. Yakni, tidak semua isra’liyyat itu
mengandung kebohongan dan tidak semua Isra’iliyyat itu benar. Oleh karena itu,
kami di sini kami akan paparkan pembagian Israiliyyat, Isra’iliyyat terbagi
menjadi tiga bagian :
1.
Isra’iliyyat
yang dipastikan keabsahannya, yaitu Isra’iliyyat yang sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Rasulullah. Seperti kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang di
jelaskan dalam kitab Bukhori.
2.
Isra’iliyyat
yang dipastikan kebohongannya. Yaitu Isra’iliyyat yang bertolak belakang dengan
Al Quran dan hadits.
3.
Isra’iliyyat
yang masih dimungkinkan benar dan bohong, dikarenakan tidak adanya dalil yang
menunjukkan pada salah satu dari keduanya.
Pembawa Isra’iliyyat Ke Dalam
Islam
Isra’iliyyat
banyak diceritakan oleh empat orang yang sebelum masuk islam mereka adalah
ulama’ orang-orang Yahudi. Mereka adalah Abdullah bin Salam, Ka’ab al Ahbar,
Wahb bin Munabbih, Abdullah bin Malik. Namun, dari keempat orang inilah, cerita
Isra’iliyyat banyak diriwayatkan. Mereka adalah orang-orang yang tidak
diragukan lagi kualitas keilmuannya. Tapi, itu semua tidak bisa melepas
kontroversi ulama’ menyikapi keempat orang tersebut, apakah mereka tergolong
orang yang bisa diterima riwayatnya atau tidak? Terlebih pada yang bernama
Ka’ab al Ahbar dan Wahb bin Munabbih. Wallahua'lam.
ATH-THIB AN-NABAWI
SOLUSI DALAM ILMU KEDOKTERAN ALA ISLAM
Oleh: Zainal Marshofi, II Aliyah, Al Anwar.
Islam dengan ajarannya
yang universal dan mencakup semua aspek kehidupan manusia sangat memperhatikan
kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan keduanya dalam paradigma syari’at
adalah sesuatu yang urgen dan mutlak diperlukan, terutama kesehatan rohani atau
spiritual. Karena dengan jasmani dan rohani yang sehat kita umat islam dapat
beribadah dengan khusyuk dan maksimal serta mampu berkarya untuk kemaslahatan
bersama, saling memberikan kemanfaatan yang mana kedua hal tersebut merupakan
tugas utama manusia di muka bumi. Untuk itu agama islam sangat menekankan
sekali untuk menjaga kesehatan. Hal itu terlihat dalam beberapa ajaran islam
yang melarang seseorang untuk melakukan tindakan yang bisa mengganggu
kesehatannya. Seperti dalam pelarangan meminum khomer dan minuman
memabukkan lainnya. Juga hikmah yang terdapat dalam pelarangan memakan daging
babi karena ternyata dalam daging babi terdapat bakteri-bakteri yang dapat
membahayakan tubuh.
Di samping itu banyak
kaidah fiqhiyyah yang secara
eksplisit menyatakan akan pentingnya menolak mafsadah. Seperti kaidah:
درء المفاسد مقدّم على جلب المصالح
“Mencegah kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”
Dan juga kaidah:
الضرر يزال
“Kemadlorotan
harus dihilangkan.”
Dalam yurisprudensi fiqh,
aspek kesehatan sangat kentara bisa mempengaruhi hukum-hukum berikut
konsekuensinya, baik dalam masalah ‘ubudiyah maupun mu’amalah. Seperti
pemberian dispensasi bagi orang sakit dengan kadar tertentu untuk berbuka puasa
di bulan Ramadlan dan pembolehan bertayamum bagi orang yang menderita pengakit
tertentu.
Kendati pun begitu, islam
melarang kita untuk berobat dengan cara-cara yang menyimpang dari ajaran yang
benar, seperti dengan mendatangi kahanah atau dukun yang jelas-jelas
merupakan sekutu setan. Karena sudah merupakan fitrah manusia bahwa demi
menjaga kesehatan tubuh dan mempertahankan nyawanya, mereka rela melakukan apa
saja. Begitu besarnya keinginan tersebut sampai mengalahkan akal sehat dan
rasio mereka.
Metode Pengobatan Ala Rasulullah
Di tengah perkembangan
teknologi, terutama bidang kedokteran dan medis, ternyata solusi medis yang
diturunkan syari’ atau yang disebut dengan At-Thibb An-Nabawi
tetap bisa menunjukkan eksistensi dan kebenarannya yang rasional dan ilmiah.
Bahkan dengan semakin canggihnya alat-alat medis dan pendeteksi penyakit dalam
organ tubuh manusia, hal tersebut semakin mengukuhkan bahwa ilmu kedokteran ala
Rasulullah bukanlah mitos dan tahayul belaka dan tidak didasarkan pada hal-hal
yang tidak ilmiah dan rasional. Karena hasil penelitian termutakhir yang
mengkaji kebenaran dan relevansi metode pengobatan Rasulullah menghasilkan
fakta-fakta ilmiah yang tidak berseberangan dengan metode tersebut. Sebagai
contoh, adanya translasi religius dari Rasulullah yang mengatakan bahwa pada
salah satu sayap lalat terdapat racun sedangkan sayap yang lainnya mengandung
penawarnya. Setelah melalui serangkaian penelitian di era moderen ini ternyata
memang terbukti bahwa hadis Nabi tersebut memang bukan isapan jempol belaka.
Terlepas dari semua fakta di
atas, Ath-Thibb An-Nabawi merupakan bagian dari wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah untuk kemaslahatan manusia.
وما ينطق عن الهوى. إن هو إلاّ وحي يوحى.
[سورة
النجم : 3-4]
Maksudnya: Nabi Muhammad
tidak mengucapkan sesuatu pun menurut hawa nafsunya. Ucapannya hanyalah
berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya.
Kita umat muslim wajib
mempercayainya tanpa perlu menunggu pembuktian-pembuktian ilmiah yang umumnya
dilakukan oleh barat yang notabenenya adalah nonmuslim. Well, walaupun jika
dipikir-pikir sebenarnya penemuan-penemuan dan pembuktian ilmiah yang mereka
lakukan tidaklah terlalu mengejutkan kita bukan? Hanya soal waktu, kapan mereka
akan menemukan dan membuktikannya.
Prinsip-Prinsip Dasar Dalam
Ath-Thibb An-Nabawi
Imam Ibnu Qoyyim (wafat tahun
751 H) dalam kitabnya "Ath-Thibb An-Nabawi"mengatakan
bahwa prinsip yang paling mendasar dalam ilmu kedokteran ada tiga, yaitu
menjaga kesehatan, menghilangkan virus dan bakteri membahayakan dalam tubuh,
dan melindungi tubuh dari sesuatu yang membahayakan. Ketiga-tiganya telah
diisyaratkan dalam Al-Qur’an, yaitu yang pertama:
فمن كان منكم
مريضاً أو على سفر فعدّة من أيام أخر. [البقرة : 184]
Maksudnya: Jika ada orang
yang tidak bisa berpuasa sama sekali atau secara sempurna dikarenakan sakit
atau melakukan perjalanan, maka dia boleh berbuka dan nanti wajib membayarnya.
Dalam ayat tersebut Allah
memperbolehkan bagi orang yang sakit untuk berbuka di siang hari bulan Ramadan,
juga bagi musafir. Tujuannya adalah untuk menjaga kondisi kesehatannya. Karena
jika dia berpuasa maka akan mengurangi stamina dan membuatnya lemah karena
adanya aktivitas yang keras. Prinsip yang kedua yaitu:
فمن كان منكم
مريضاً أو به أذى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك. [البقرة : 196]
Maksudnya: Jika ada orang
yang sedang berhaji terkena penyakit di badannya atau rambutnya dengan kadar
tertentu, maka dia boleh bercukur dan dia wajib membayar fidyah berupa puasa
tiga hari, atau sodaqoh dengan tiga sho’, atau menyembelih kambing.
Dalam ayat ini Allah
memperbolehkan bagi orang yang terdapat penyakit di kepalanya, seperti
gatal-gatal atau kutu, untuk mencukur rambutnya dalam keadaan ihrom. Tujuannya
untuk menghilangkan kutu yang menggumpal di bawah rambut. Jika dia mencukur
rambutnya maka terbukalah pori-pori kepala sehingga kutu-kutu tadi bisa keluar
lewat pori-pori tersebut. Dan prinsip ketiga terdapat dalam surat An-Nisa:
وإن كنتم مرضى
أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماءً فتيمّموا
صعيداً طيّباً. [النساء : 43]
Maksudnya: Jika kamu dalam
keadaan sakit yang tidak bisa menggunakan air, atau sedang dalam perjalanan
atau berhadas kecil atau besar lalu tidak menemukan air yang bisa dibuat
bersuci setelah mencarinya, maka hendaklah bertayamum dengan tanah suci yang
berdebu sebagai ganti dari wudlu dan mandi besar.
Allah telah memperbolehkan bagi orang yang terkena
penyakit tertentu untuk bersuci dengan tanah. Tujuannya adalah melindungi
tubuhnya dari sesuatu yang membahayakan baik dari dalam maupun dari luar.
Lewat ketiga ayat tadi Allah telah menunjukkan kepada
hambanya dasar-dasar ilmu pengobatan secara global. Di samping itu Rasulullah
juga telah memberikan petunjuk dalam hal tersebut yang terekam dalam
kitab-kitab hadis. Beliau mengajari manusia bagaimana mengobati diri sendiri
untuk mengalahkan penyakit-penyakit hati dan badan, sehingga dengan demikian
secara serempak beliau telah melestari-kan keimanan dan kesehatan. Inilah yang
disebut Ath-Thibb An-Nabawi. Yaitu metode pengobatan yang diajarkan oleh
beliau yang masih menjadi bagian dari syari’at komprehensif yang dibawanya.
Di bawah ini penulis mencoba
untuk menguak sedikit dari metode tersebut. Tentunya dengan pengetahuan penulis
yang terbatas.
Pembagian Penyakit Dalam Ath-Thibb
An-Nabawi
Salah satu ulama salaf yang
membahas metode ini secara intensif adalah Imam Ibnu Qoyyim. Kitabnya yang
berjudul "Ath-Thibb An-Nabawi" menjadi bahan referensi utama
dalam menelaah lebih lanjut kandungan ilmu pengobatan ala Nabi ini.
Dalam kitabnya tersebut beliau menjelaskan bahwa metode pengobatan Rasulullah
terbagi menjadi dua, yaitu: pengobatan dengan menggunakan ألأدوية
القلبية و الروحانية (obat
batin dan tak kasat mata) dan pengobatan dengan الأدوية
الحسّية (obat fisik dan nyata).
Pengobatan yang pertama tidak
bisa dicerna oleh kebanyakan dokter, dan akal mereka tidak bisa sampai
kepadanya karena pengobatan ini untuk penyakit hati atau psikis. Metode ini
menyerupai teori ilmu psikologi modern dan psikiatri karena metode ini
menggunakan kekuatan dan kemampuan hati (will power), kepasrahan kepada
Allah, berserah lindung kepada-Nya, merendah di hadapan-Nya juga dengan sodaqoh,
berdoa, bertaubat, berbuat baik pada orang lain, menolong yang kesusahan dan
lainnya. Sesungguhnya praktek pengobatan ini telah dilaksanakan oleh umat-umat
terdahulu dengan keragaman agama dan kepercayaannya. Mereka menemukan bahwa
obat-obat ini mempunyai efek dan khasiat yang bagus untuk mengobati penyakit
yang mana hal tersebut tidak ditemukan dalam ilmu kedokteran modern. Hal
tersebut sebenarnya tidak menyimpang dari hukum alam dan bukan sesuatu yang
berbau 'mistis'
atau sebagainya, seperti mantra atau jampi-jampi yang dilafalkan oleh dukun.
Karena ketika hati seseorang sudah dekat dengan sang pencipta alam yang
menciptakan penyakit dan obatnya, disertai dengan jasmani dan rohani yang
bersih dan kuat, maka hal tersebut akan menjadi bentuk sinergi yang kuat untuk
menolak suatu penyakit dan melenyapkannya dari dalam tubuh.
Sebagai contoh, cerita
yang terdapat dalam Shohih Muslim tentang para sahabat Nabi yang melakukan perjalanan. Salah satu
dari mereka bisa menyembuhkan kepala suatu kampung yang terkena sengatan
kalajengking hanya dengan membaca surat
Al-Fatihah
(meruqyah). Pengaruh ruqyah dengan Al-Fatihah
dalam mengobati gangguan binatang berbisa mengandung rahasia yang unik. Sebab
binatang berbisa itu mempengaruhi melalui kondisi jiwa korban yang labil dengan
senjatanya yaitu sengatan yang berbisa. Dan hewan semisal kalajengking tidak
akan menyengat kecuali ketika dia marah. Karena ketika marah racun yang ada
pada pencapitnya akan bereaksi kemudian dia mengeluarkannya melalui pencapitnya
dan langsung menyebar ke dalam tubuh korban. Dan ketika diruqyah,
jiwa orang yang meruqyah dapat memberikan pengaruh terhadap jiwa yang diruqyah.
Maka terjadilah fi´l
dan infi´al (aksi
dan reaksi) diantara keduanya, sebagaimana aksi dan reaksi yang terjadi antara
penyakit dan obat. Maka jiwa orang yang diruqyah menjadi kuat dengan ruqyah itu
dan dapat menundukkan penyakit atas izin Allah. Adapun semburan dan air ludah
yang dikeluarkan pe-ruqyah hanyalah merupakan media perantara saja.
Karena proses ruqyah itu keluar dari hati si pe-ruqyah dan
mulutnya. Jika disertai dengan sesuatu yang berasal dari dalam tubuhnya,
seperti air ludah dan nafas, maka akan menjadi kombinasi sempurna dalam proses
penyembuhan. Majalah 'Newsweek'
terbitan tanggal 10-11-03 memuat artikel menarik sehubungan dengan pembahasan
ini. Artikel tersebut berjudul: "Tuhan Dan Kesehatan: Apakah Agama
Merupakan Obat Yang Baik?" Disitu dituliskan bahwa keimanan kepada Tuhan
dapat meningkatkan harapan pasien untuk sembuh dan membantu proses penyembuhan
dengan mudah. Menurut pendataan yang dilakukan majalah tersebut, 75% masyarakat Amerika mengatakan bahwa mereka
percaya jika berdoa dapat menyembuhkan penyakit. Dan menurut penemuan di
Universitas Rush Chicago, tingkat kematian dini di kalangan orang-orang yang
beribadah dan berdoa secara teratur adalah sekitar 25% lebih rendah
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki keyakinan agama. Penelitian lain
yang dilakukan terhadap 750 orang yang menjalani pemeriksaan Angio
Cardiographi (jantung dan pembuluh darah) membuktikan secara ilmiah
"kekuatan penyembuhan dengan doa", dan tingkat kematian dikalangan
penderita penyakit jantung yang rutin berdoa menurun 30% dalam satu tahun pasca
operasi.
Metode pengobatan yang kedua adalah الأدوية
الحسّية yakni obat-obatan yang berasal dari
tanaman-tanaman, tumbuh-tumbuhan atau yang lainnya seperti susu dan madu. Dalam
hal ini Nabi SAW memberikan kita
petunjuk dalam mengobati berbagai penyakit. Akan tetapi ilmu kedokteran ala
Nabi tidaklah sama dengan ilmu kedokteran modern yang dikembangkan barat,
karena ilmu kedokteran Nabi didasarkan pada keyakinan yang berasal dari wahyu
ilahi dan kesempurnaan akal yang beliau miliki. Sedangkan ilmu kedokteran
modern lebih banyak didasarkan pada hasil eksperimen yang bersifat estimasi dan
praduga saja.
Akan tetapi pada kenyataannya banyak umat islam yang lebih condong
untuk menggunakan ilmu kedokteran modern. Sedikit sekali yang mau menggunakan Ath-Thibb
An-Nabawi. Hal itu dikarenakan orang yang menggunakannya hanyalah orang
yang menerimanya dengan tangan terbuka dan mempercayainya atau dengan kata
lain, orang-orang yang sempurna iman dan kepasrahannya. Jadi, Ath-Thibb
An-Nabawi tidak sesuai kecuali untuk jasmani yang baik, seperti Al-Qur’an yang
hanya sesuai dengan hati yang bersih dan suci.
Penutup
Salah satu faktor
terpenting dalam kelangsungan manu-sia di muka bumi ini adalah kemampuannya
mempertahankan diri dari segala macam bahaya yang selalu mengancam, baik dari
luar maupun dari dalam. Salah satu caranya adalah dengan ilmu kedokteran dan
medis, yang mana tujuan dari ilmu ini adalah mempertahankan tubuh dari serbuan
virus dan bakteri jahat yang bisa mengganggu sistem kerja tubuh. Nabi Muhamad,
Nabi yang diutus dengan syareat yang
komplit dan sempurna pun tak luput untuk memperhatikan masalah yang satu
ini. Lewat kitab-kitab hadis kita bisa mengetahui bahwa beliau mengajarkan kita
tata cara berobat yang baik dan benar. Namun kita sebagai manusia tidak dapat
hidup selamanya, walaupun tanpa penyakit yang menimpa dan dengan segala macam
obat-obatan yang diminum, kematian tetap akan menyapa kita disela-sela waktu
tanpa ada pemberi-tahuan terlebih dahulu. Oleh karena itu, tujuan kita dalam
berobat bukanlah usaha untuk lari dari kematian, karena usaha seperti itu
adalah sia-sia belaka.
قل لن ينفعكم الفرار إن فررتم من الموت أو القتل وإذاً لا تمتّعون إلاّ
قليلاً. [الأحزاب : 16]
Maksudnya : Lari
dari kematian atau dibunuh itu tidak akan bermanfaat bagi kamu. Dan jika kamu
benar-benar ter-hindar dari kematian maka kesenangan yang kamu dapatkan
hanyalah sebentar saja.
Tujuan kita berobat adalah untuk mencari keridhoanNya dengan mencari
dan mengunakan sebab-sebab yang telah Allah letakkan pada tempatnya
masing-masing. Malah hakikat iman tidak akan sempurna kecuali dengan mubasyarotul
asbab (mengindahkan sebab-sebab)
yang telah Allah rancang dan atur sedemikian rupa. Wallahu a’lam.
ANALISIS 'URF DALAM PERSPEKTIF
SYAR'I
Oleh : Aly Ja'far, III Aliyah, Al Anwar.
Perpaduan
antara syari'at Islam dengan berbagai dinamika kehidupan manusia adalah sebuah
keniscayaan. Sebab syari'at Islam diturunkan ke muka bumi ini bukan tanpa
sebab, melainkan untuk dijalankan umat manusia yang memiliki beragam etnis ras
dan suku yang beraneka ragam. Mereka semua memiliki berbagai kebiasaan, adat
istiadat ('urf) dan tradisi yang berbeda. Semuanya hidup tumbuh dan
bekembang di wilayah masing-masing.
Islam adalah agama
suci yang digariskan Allah untuk seluruh umat manusia, namun Islam tidak hadir
dalam sekejap, sebagai sajian praktis dan cepat saji, atau turun dalam ruang
hampa. Tapi Islam hadir melalui proses pertemuan dan persinggungan dengan
realitas sosial yang mengitarinya. Hal ini menjadikan Islam sebagai agama yang
asalnya hanya bersifat transenden (wahyu) karena diturunkan kepada manusia yang
berwatak sosial dan menempati ruang dan waktu, akhirnya pun bisa terkandung
sisi historitas kemanusiaan. Tak heran bila banyak ayat-ayat Al-Qur'an maupun
hadis Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya merupakan jawaban dari berbagai
peristiwa yang terjadi waktu itu. Jarang sekali nash-nash syar'i yang
diturunkan tanpa adanya sabab musabab yang menyertainya. Gambaran ini jelas
memberikan bukti nyata bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menafikan
berbagai realitas sosial yang hidup dan terus berkembang di belahan bumi di
mana Islam pertama kali diperkenalkan. Dalam generasi berikutnya, para sahabat,
tabi'in maupun ulama salaf tidak pernah meminggirkan berbagai kultur yang ada.
Mereka selalu berusaha memahami 'urf atau adat yang telah mengakar di berbagai
lapisan masyarakat. Semuanya dipelajari untuk kemudian dijadikan bahan
konsiderensi (pertimbangan) dalam mengangkat kebijakan hukum.
Hasilnya adalah apa
yang kemudian lahir dari fatwa-fatwa mereka terkesan mewakili ranah adat
masing-masing. Contoh kecil adalah Imam Malik yang berpegang teguh menggunakan 'urf
ahli Madinah sebagai dalil intinbat. Sedangkan tiga imam setelah beliau
tidak menggunakannya, ini karena Imam Malik hidup dalam kurun pertama hijriyah,
sebuah masa di mana dalam kurun ini Madinah adalah kota pertama yang berhasil dibangun
Rasulullah. Dengan segala aspek pendidikan yang beliau terapkan telah mampu
merubah tatanan sosial yang ada dan membentuk komunitas baru yang sanggup
mengemban etos kenabian. Pendidikan yang beliau ajarkan mampu merasuk ke dalam
tulang sumsum dan mendarah daging serta dihafal di luar kepala, sehingga apa
yang mereka lakukan adalah refleks dari apa yang pernah Nabi ajarkan. Keadaan
ini berlangsung terus menerus dan mempengaruhi perilaku mereka yang pada
akhirnya perilaku dan kebiasaan ini mampu membentuk pribadi-pribadi yang taat.
Dari masing-masing individu inilah penduduk Madinah mampu menciptakan suatu 'urf
yang bisa dijadikan rujukan dalil istinbat, karena keislaman mereka masih
orisinil sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah.
Secara metodologis
pun kita dapat melihat bagaimana para intelektual Islam begitu memperhatikan
unsur adat dan 'urf sebagai penyempurna kajian. Dalam literatur khazanah
ulumul Qur'an misalkan, seorang mujtahid atau mufassir
disyaratkan terlebih dahulu menguasai asbabun nuzul dan tata letak
antara ayat Madaniyah dan ayat Makkiyah secara persis sebagai modal dasar
periwayatan. Sementara di kedua wilayah tersebut muncul berbagai karakteristik
dan kehidupan masyarakat yang berbeda. Imam Al Suyuthi dalam kitabnya Al
Itqon menuturkan beberapa cirri eksklusif untuk mengetahui perbedaan di
atas. Di antaranya adalah, untuk ayat Madaniyah diawali dengan (ياأيها الذين
آمنوا) dan begitu juga sebaliknya ayat Makkiyah diawali dengan (ياأيها الذين
كفروا). Ayat pertama turun untuk orang
mukmin di Madinah dan yang kedua untuk orang kafir Makkah. Dengan ini
terbuktilah secara otentik akan adanya hubungan dialektis antara nas syari'at
dan realitas sosial yang berkembang. Selain dalam kajian ulumul Qur'an,
para ulama fiqh pun memberikan apresiasi yang cukup besar pada adat, tradisi,
dan budaya, masing-masing menggunakannya sebagai landasan istinbat baik dalam
porsi besar maupun kecil.
Klasifikasi Adat/'Urf
Dari berbagai adat
istiadat yang berlaku di masyarakat, tidak semuanya bisa dirujuk dengan bebas
oleh Islam. Semuanya harus diseleksi, difilter, dipilih dan dipilah untuk
dijadikan partner dalam mengambil keputusan selanjutnya. Para
pendahulu kita telah berhasil menseleksi dengan ketat, berbagai jenis
kebudayaan yang ada, kemudian membangun kembali ke dalam dua kategori umum.
Yang pertama adalah adat shahih, dan yang kedua adalah adat fasid.
Untuk kategori yang pertama adalah sebuah tradisi yang tidak bertentangan
dengan dalil-dalil syar'I, tidak menghalalkan yang haram, atau menggugurkan
kewajiban, mendorong adanya maslahah, dan mencegah timbulnya destruksi sosial.
Perlu diketahui, bahwasanya adat ini pada mulanya adalah syari'at hanifah
yang dibawa Nabi Ibrahim dan diajarkan kepada masyarakat Arab seperti praktek
haji, had zina, rajam, dan lain sebagainya. Karena ulah orang Arab jahiliyah
telah menyebabkan adanya desekresi syari'at dan menjauhkannya dari kesan islami,
maka keluarlah ia dari identitas asalnya dan menjadi tradisi jahiliyah. Contoh
adat shahih lainnya adalah kebiasaan masyarakat feodal Arab yang
memberlakukan syarat kafaah (kesepadanan pasangan) dalam perkawinan.
Atau sifat 'ashobah dalam perwalian dan waris mewaris, karena adat ini
tidak bertentangan dengan konsep dasar syari'ah, maka ia pun dijadikan
pertimbangan dalam mengangkat hukum. Sedangkan untuk yang kedua (adat fasid),
adalah kebalikan yang pertama, dengan kata lain ia adalah sebuah tradisi yang
tidak berlandaskan dalil-dalil syari'at, menghalalkan yang haram, serta
mendorong timbulnya mafsadah. Di antara contohnya adalah kebiasaan buruk
orang Arab jahiliyah yaitu mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Atau
mewarisi wanita yang ditinggal mati ayahnya. Adat seperti ini jelas tidak akan
mendapatkan legitimasi dari Islam. Sebab dengan memelohara tradisi kedua ini
hanya akan merusak fondasi hukum-hukum Islam dan menghancurkannya dari dalam.
Sementara ajaran Islam memuat citra maslahah 'ammah, tidak subjektif dan
parsial. Walaupun adat fasid memuat citra maslahah, biasanya
hanya didasari kepentingan sesaat, seperti kebiasaan orang Mesir yang
menenggelamkan seorang gadis mereka ke dalam sungai Nil untuk mendapatkan
perlindungan sesaat dari penunggunya.
Di antara dua tradisi
di atas, ada tradisi yang berlaku di kehidupan masyarakat, tapi syara' tidak
memuat ketetapan spesifik yang mengenainya, tidak jelas apakah melarang atau
menganjurkannya. Seperti memperingati hari kemerdekaan, hari pahlawan, dan lain
sebagainya. Masalah tersebut merupakan kumpulan dari tradisi masing-masing
bangsa. Maslahah dan kebaikannya juga diserahkan pada penilaian syara'
tergantung sisi madlorot atau manfaat yang ditimbulkannya. Para ulama
dalam mengapresiasi tradisi ini menggunakan dalil antara lain:
ما رآه
المؤمنون حسنا فهو عند الله حسن.
Atau sudah ada ketetapan dari syara', namun tak adanya
standarisasi khusus yang mengikat untuk dijadikan referensi hukum yang statis,
maka semuanya dilarikan kepada 'urf masing-masing. Seperti awal haid,
balig, dan nifas. Di sinilah 'urf harus berbicara dan sangat
diperlukan keberadaannya. Ia bisa menjadi bahan rujukan yang dapat memecahkan
beberapa persoalan seperti di atas. Dan penggunaan 'urf ini disesuaikan dengan kaidah fiqhiyah yang
berbunyi:
المعروف عرفاً
كالمشروط شرطاً.
Beberapa
Contoh Adat
Dari beberapa persoalan yang
dikupas dan diulas secara mendalam oleh para fuqoha, banyak di antaranya yang
terdapat unsur-nsur pertimbangan adat, yang mana semuanya dapat berubah sesuai
dengan perkembangan zaman yang berlaku. Imam Syihabuddin Al Qorofi menuangkan
beberapa contoh dan ulasan yang diungkap dalam kitab Al Wajiz fi Ushul Fiqh
oleh Abdul Karim Zidan. Di antaranya adalah tradisi menggunakan naqdain
(emas dan perak) yang sudah dikenal ratusan tahun sebelum hijriah sebagai alat
tukar transaksi jual beli. Tradisi ini terus bertahan hingga masa datangnya
Islam dan Rasulullah sama sekali tidak pernah melarang umatnya untuk
menggunakannya sebagai alat tukar yang sah. Namun setelah memasuki periode-periode
berikutnya di mana zaman semakin canggih, umat manusia mulai menyingkirkan
tradisi penggunaan uang dari emas dan perak, kemudian menggantinya dengan uang
kertas. Dan selama berabad-abad pula umat Islam tidak pernah mempermasalah-kan
peralihan tradisi ini, sebab proses transisi ini dianggap tidak akan merubah
sendi-sendi ajaran Islam. Ia dapat digunakan tanpa harus dipersoalkan panjang
lebar.
Contoh lainnya adalah proses belajar mengajar
Al-Qur'an pada masa hidupnya Imam Abu Hanifah. Beliau melarang para mu'allim
kalam Allah untuk mengambil upah. Larangan ini bukannya tak berdasar, beliau
mempertimbangkan bahwa pada saat itu para pengajar sudah mendapatkan tunjangan
hidup dari baitul mal. Namun pada generasi berikutnya di mana lembaga
keuangan negara sudah tidak mampu lagi memberikan tunjangan, disebabkan
banyaknya alokasi dana yang harus dikeluarkan, maka para ulama Hanafiyah pun
mulai membuat reaksi yang berbeda dari sebelumnya dengan memberikan fatwa
diperbolehkannya para mu'allim mengambil upah. Dan fatwa itu abash
adanya, walaupun tidak sesuai dengan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Imam
Abu Hanifah. Ijtihad seperti ini memang baik untuk waktu itu (masa Imam Abu
Hanifah). Sikap ini bisa dirubah sesuai dengan tuntutan zaman, selama tidak ada
dalil syar'i yang melarang atau menganjurkan secara wajib.
Dari setiap contoh yang ada setidaknya kita bisa
memahami dan memaklumi, bahwa setiap perubahan hukum itu wajar, seperti
kewajiban zakat uang kertas misalkan, hal ini wajar melihat berbagai tuntutan
yang ada. Namun ijtihad ini hanya bisa dilancarkan jika tidak berseberangan
dengan ketentuan dasar dan berbagai hukum baku
Islam lainnya. Dan jika hukum baru ataupun tradisi telah melancangi nas-nas
syar'i maka tak ada justifikasi lagi pada adat yang berlaku, bahkan adat ini
harus dibuang jauh ke dalam limbo sejarah.
Dari sekelumit contoh di atas dapat
kita maklumi, mengapa para ulama, khususnya para fuqoha, dirasa perlu menarik
kesimpulan untuk merumuskan berbagai kaidah fiqh seperti (العادة محكمة) yang berarti: "adat
istiadat adalah hakim yang bisa dijadikan rujukan guna mencetuskan suatu hukum."
Kaidah ini merupakan prinsip dasar dan rumus umum yang dapat memecahkan
berbagai persoalan yang erat kaitannya dengan adat istiadat dengan segala
variannya. Dengan memahami kaidah ini diharapkan kita tidak memandang dengan
sebelah mata dalam memahami tradisi dan budaya atau kita bisa melihatnya dengan
artian yang lebih luas. Namun yang perlu diketahui, pemberlakuan prinsip umum
ini tidak berarti mensejajarkan budaya dengan nash syari'at, akan tetapi lebih
mengajukan pada asumsi pokok bahwa ajaran Islam tak pernah beranggapan atau
memandang adat sebagai sampah yang tak bernilai. Adat adalah realitas historis
dari kehidupan umat manusia, ia telah mencampur dan mendarah daging
beratus-ratus tahun lamanya dengan umat manusia. Wallahua'lam.
NOKTAH HITAM SEJARAH
Oleh: Ali Ja'far, III Aliyah, Al Anwar.
Proses
pembelajaran di setiap sisinya terkadang memang sulit untuk dicerna otak manusia.
Namun dari kesukaran inilah kita sering mendapat banyak letupan-letupan inspirasi yang mampu memberikan kita kekuatan
logika untuk berpikir ulang tentang apa yang kita terima. Dalam proses
pembelajaran sejarah misalkan, kita sering dihadapkan pada pemandangan skenario
terselubung, konspirasi tersembunyi, serta diplomasi dan dominasi yang
menyertainya. Klaim-klaim kesimpulan sejarah pun terkadang diambil tanpa adanya
konsiderensi di sana-sini. Entah mana yang harus kita percaya? Penulis
sejarahkah atau pelaku sejarahkah? Semuanya masih absurd bagi kita. Dan jika
pada nantinya kita punya keyakinan yang kuat tentang apa yang terjadi di masa
silam yakinilah itu sebagai kebenaran yang tersandar pada para penulis sejarah.
Dan jika itu tidak berbanding lurus dengan apa yang kita yakini, tak perlu
risau, kita sama-sama bukan penulis, pelaku ataupun pembuat sejarah itu.
Dari
sekian doktrin yang kita terima, dan tentunya kita yakini akan kebenaranya,
terkadang sering timbul dalam benak-benak jahiliyyah kita, berbagai
pertanyaan imajiner yang melesat-lesat tanpa kontrol. Ilusi itu terkadang muncul di saat kita diwajibkan meyakini apa
yang kita terima sebagai keutuhan yang tak boleh disentuh. Sebegitu sakralkah
sebuah kepahaman sehingga ia tidak boleh diotak-atik? Tak ada jawaban yang
pasti, karena kita harus bungkam bahkan ketika kita ingin bertanya. Di antara
sederet jawaban yang ingin kita ketahui hasil akhirnya, tidak boleh dibicarakan
oleh manusia, karena waktulah yang dengan sendirinya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan
kita.
Jawaban yang cukup
melelahkan, karena waktu terlalu banyak bicara. Ia berbicara tentang prinsip
yang harus kita tempuh, ia juga menasehati kita tentang trik dan intrik yang
diperlukan dalam perjuangan serta ia cukup banyak memberikan kita wejangan
tentang bagaimana prinsip dan intrik yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
yang semestinya. Pengetahuan itu bisa kita dapatkan, bahkan dari bagian-bagian
peristiwa yang dianggap banyak orang sebagai 'cacat sejarah' benarkah itu
cacat, kita sendiri yang menilainya, anggaplah semuanya baik-baik saja. Inilah
sedikit cuplikan peristiwa yang dianggap 'cacat' pertarungan takberujung pada
prinsip dan konsep antara keyakinan dan harapan. Plot kisah tragis antara para
pelaku sejarah.
Pasca pembunuhan khalifah
ketiga, suasana memang begitu kacau, umat Islam terpecah menjadi beberapa
kelompok politik. Tidak semua umat Islam abad pertama sepakat membai’at Ali
sebagai penganti 'Utsman yang mati terbunuh di tangan orang yahudi. Di Syam,
Mu’awiyah yang masih kerabat 'Utsman menuntut ditegakkannya hukuman kepada Ali
atas kematian Utsman. Ia menuduh Ali berada di belakang kaum pemberontak.
Ia didakwa telah memberikan perlindungan terhadap pembunuh Utsman.
Tudingan Muawiyyah
terhadap khalifah keempat ini sudah bisa langsung tangkap sebagai 'tudingan
politik' yang menyangkut ke ranah 'perselisihan hukum' dan 'pergerakan
militer'. Di mana masing-masing tiga kekuatan ini memiliki peran masing-masing
dalam membuat percikan 'noda-noda' sejarahnya.
Langkah awal perlawanan
Mu’awiyah bahkan dinyatakan secara terbuka dengan mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah tandingan di Syam.
Ali dinyatakan telah gagal membentuk pemerintahan Islam yang berlandaskan pada
hukum Allah. Tuduhan yang kedua ini telah mampu membangkitkan gairah kekuatan
masa untuk sama-sama memberontak pada pemerintahan yang sah. Arus masa yang
terus bergejolak ini dimanfaatkan oleh Muawiyyah untuk mengalang dukungan
militer yang berujung pada gerakan bersama untuk menumbangkan khalifah. Bahkan
ia tak segan-segan mengerahkan tentaranya untuk memerangi Ali.
Sedangkan di Mekah,
kondisi yang sama terjadi. 'Aisyah menggalang kekuatannya bersama Thalhah
dan Zubeir untuk melawan Ali. Kekuatan oposan ini terlepas dari tunggangan
politik manapun. Mereka hanya ingin pihak khalifah mengusut tuntas pembunuh
'Utsman yang masih berkeliaran.
Semua sengketa di atas
pada mulanya berawal dari kebijakan pertama sahabat Ali saat diangkat menjadi
khalifah. Tanggung jawab yang ia pikul memang berat selain dituntut memperbaiki
sistem pemerintahan yang kacau, ia juga dituntut untuk menuntaskan kasus jejak
pembunuhan khalifah ketiga. Dari sekian banyak tugas yang dibebankan, beliau
berusaha 'merampingkan' konflik dengan melihat akar masalahnya. Di antaranya
adalah penutupan kasus pembunuhan 'Utsman, memberhentikan gubernur-gubernur
yang diangkat 'Utsman dan menarik kembali tanah negara yang telah
dibagi-bagikan oleh khalifah 'Ustman kepada kerabatnya. Ali mengangkat 'Utsman
bin Junaif menjadi Gubernut Basrah menggantikan Abdullah ibn Amir, Umarah ibn
Syihab gubernur Kufah menggantikan Sa’d ibn al Ash.
Sedangkan kebijakan Ali
mendapatkan tantangan keras dari mereka yang aspirasinya merasa diabaikan,
serta dari pejabat-pejabat yang digeser dari kedudukannya. Di sisi lain,
penduduk Madinah sendiri tidak sepenuh hati mendukung Ali. Posisi Ali
benar-benar sulit. Ia terjepit antara keinginan untuk memperbaiki situasi
negara yang sudah chaos dengan ambisi lawan-lawan politiknya yang selalu
berusaha menjegal kekuasaannya.
Kondisi Madinah yang tidak
berpihak pada kebijakan pemerintahan telah menyumbat perjalanan roda
pemerintahan yang sedang dibangun. Akhirnya Ali memindahkan ibukota negara ke
Kufah, karena di sini Ali mendapat dukungan penuh dari rakyat.
Di
Syam, Mu’awiyah telah mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi Ali. Mendengar
khabar tersebut Ali segera memimpin pasukan guna memerangi Mu’awiyah, namun
sebelum rencana itu terlaksana, ternyata
umul mu'minin Aisyah, Thalhah dan Zubeir telah bersiap
memberontak kepadanya.
Dari
Makkah mereka menuju Basrah, Ali pun membelokan pasukannya ke Basrah untuk
memadamkan pemberontakan, namun terlebih dahulu Ali menawarkan perdamaian dan
mengajak mereka berunding tapi tawaran itu ditampik, maka tak dapat dihindari
terjadi perang yang dinamakan perang Jamal. Pasukan Ali menang, Thalhah
dan Zubeir tewas, Aisyah dipulangkan ke Madinah secara terhormat.
Setelah itu Ali
mengalihkan perhatiannya ke Mu’awiyah, Ali mengirimkan surat ke Mu’awiyah dan
menawarkan perundingan, akan tetapi Mu’awiyah tetap pada pendiriannya dan
terkesan membuka perang saudara, maka terjadilah perang saudara itu. Banyak
tentara di kedua belah pihak yang gugur, ketika Ali hampir memperoleh
kemenangan, Amr ibn al Ash yang berada di barisan Mu’awiyah mengangkat mushaf
menandakan damai. Maka perang pun dihentikan dan diadakan proses arbritase/
tahkim (perundingan) antara kedua belah pihak. Dalam tahkim ini pihak Ali
diwakilkan oleh Abu Musa al Asy’ari yang dipecundangi oleh siasat 'Amr yang
mewakili kubu Mu’awiyah. Tahkim ini menghasilkan keputusan yang timpang balik.
Pihak incumbent kalah, Ali dilengserkan dari jabatannya dan kelompok
oposisi yang dipimpin oleh Mu’awiyah berhasil membalik kekuasaan. Proses tahkim
telah mampu mendongkrak popularitas Muawiyyah, selaku pihak penggugat, Ia dengan skenario politiknya berhasil
mengalang kekuatan masa dan akhirnya ia bisa naik memperkuat posisinya menjadi
khalifah.
Proses arbritase /tahkim
atau yang sering disebut dengan slogan “Laa hukma illallah” patut kita
cermati dalam pembacaan sejarah dan selayaknya juga kita amati dalam konteks
restorasi hukum Islam. Proses itu lahir ketika pertentangan antar kubu sudah
akut dan parah. Dari satu kutub, para
pihak penentang Ali begitu ingin menegakkan hukum Allah yang 'terlupakan' di
tangan khalifah keempat. Dan dari satu sudut yang bersebrangan demi
menghentikan eskalasi politik, agresi militer pihak oposan, serta mengembalikan
lagi kondusifitas keamanan negara, maka meninggalkan konflik dam Utsman
(darah Ustman), adalah keniscayaan.
Kejadian ini menimbulkan
krisis baru dan pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang
kebanyakan dari Bani Tamim. Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap proses dan
hasil perundingan tersebut dengan menyatakan “Laa hukma illallah”. Ali
pun memberi komentar dengan ucapan yang masyhur, "Kata-kata yang haq, tapi
yang dimaksudkan adalah bathil, sungguh mereka tidak ingin adanya pemimpin
dan harus ada pemimpin yang baik ataupun jahat."
Dari dua keinginan yang
tak berujung inilah, noktah-noktah sejarah mengalir semakin deras. Kejadian
Perang Jamal, dan tahkim telah melukai perjalanan politik Islam. Politik
yang berujung pada pertikaian hukum dan darah para militant. Noda sejarah terus
berlanjut, politik berwajah darah terus mengalir di sana-sini. Gejolak api
pertikaian belum mereda hingga akhirnya peristiwa terbunuhnya Ali di tangan
Abdurrahman bin Muljam menjadi titik terhitam dalam landscape perjalanan
sejarah para pendahulu kita. Rekam jejak sejarah hitam ini terus mengalir,
goretan-goretan pertarungan masa lalu masih membekas di tangan-tangan para
sejarawan. Dari sekian ulasan teropong sejarah masa silam, setidaknya telah
memberikan sedikit pelajaran berharga bagi kita, bahwa sebuah prinsip itu harus
kita pegang selamanya di saat kita yakin akan kebenarannya. Namun adakalanya
kita harus membuat skenario tersembunyi untuk memenangkan pertarungan prinsip.
Belajar dari Ali yang
rela mengubur keinginannya menumpas pembunuh 'Utsman demi menciptakan
pemerintahan yang stabil dengan meredam eskalasi politik. Kita juga bisa belajar
lewat sayyidah Aisyah. pejuang gigih yang rela maju di medan perang demi menegakkan hukum dan
mmperjuangkan prinsip Islam. Terakhir kita juga bisa belajar kepada Muawiyyah
yang dengan strategi politiknya mampu merubah peta kekuasaan. Dari mereka kita bisa
belajar, pelajaran yang indah meski dianggap terluka di mata sejarah. Bagaimana menurut anda?
"COGITO ERGO SUM"
(Aku berpikir, maka aku ada)
Oleh: Zainal
Marshofi, kelas II Aliyah, Al Anwar.
Ungkapan kata-kata di
atas ini dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf beraliran Rasionalis
dan pelopor filsafat pembaharuan abad ke-17. Dia telah menyangsikan segala
wujud sesuatu, tetapi dalam keserba-sangsian itu ada satu hal yang pasti, yaitu
bahwa aku bersangsi, dan bersangsi berarti berpikir, karena berpikir maka aku
ada. Itulah yang menjadi landasan dasar filsafatnya. Kita, sebagai komunitas
yang sejak kecil diberi asupan pelajaran-pelajaran agama, tentunya tidak bisa
menerima begitu saja landasan filosofis yang digunakan Cartesius (nama Latin
Descartes) ini. Bagaimana tidak? Dia terlalu mengagung-agungkan fungsi akal
dengan meyakini bahwa yang ada pada kita hanyalah akal budi manusia saja, agama
dan keyakinan dianggapnya 'kolot' atau 'ketinggalan zaman', paling banter
hanya 'perasaan' saja. Golongan filosof seperti ini masuk dalam kategori
orang-orang yang menyembah-nyembah akal dan dicap sesat oleh ulama-ulama Islam.
Terlebih lagi,
sebagian komunitas pelajar ilmu-ilmu Islam (baca: santri) ada yang alergi
dengan kata filsafat begitu kata ini disebut. Seolah-olah filsafat itu adalah
'ilmu hitam' sama sejajar dengan ilmu sihir yang hanya mendatangkan kerusakan
dan kesesatan. Padahal mereka tidak pernah mengetahui substansi dari filsafat
itu sendiri secara utuh. Mereka hanya tahu dari kitab-kitab yang mereka
pelajari bahwa filsafat itu sesat karena tiga hal, salah satunya yaitu meyakini
akan qidam-nya alam semesta. Memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya,
karena langkah yang diambil para ulama kita dalam mengharamkan mempelajari
filsafat sekuler adalah berdasarkan tindakan antisipatif. Selain itu,
kebanyakan aliran dalam filsafat terlalu mengagung-agungkan peran akal dan
fungsinya, seperti Descartes dan Benedict De Spinoza. Filsafat dipandang
sebagai sumber segala kebenaran yang mengharapkan darinya kebahagiaan tulen dan
jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan hidup. Sebaliknya, ada pula yang
menganggap filsafat tidak lain hanya 'obrolan belaka', 'omong kosong', dan
'hasil lamunan' yang sama sekali tidak ada artinya bagi kehidupan sehari-hari.
Kita sejak kecil selalu diajarkan agar bersikap tengah-tengah, tidak terjerumus
pada ekstrimisme dan fanatisme buta, juga bukan seorang liberalis yang bebas
tak beraturan. Kita harus bersikap tengah-tengah, objektif, dan adil dalam
menilai segala sesuatunya, termasuk dalam memandang filsafat. Selain itu,
filsafat jika kita telusuri akar katanya, maka akan ditemukan bahwa kata itu
berasal dari phylo
dan sophos yang artinya cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Atau dalam
bahasa yang lebih akrab di telinga kita kebijaksanaan sering diartikan dengan
hikmah. Ya, hikmah atau apapun itu asal berupa kebenaran hakiki, kita
dianjurkan untuk 'memungutnya' dari manapun ia berasal. Khudzil hikmah walau
min ayyi famin kharajat. Begitu kata pepatah Arab (penulis mengatakan
pepatah karena belum menemukan pernyataan tegas apakah ini berasal dari hadis
atau bukan).
Para ahli pemikir, meskipun terdapat perbedaan paham tentang definisi
atau batasan filsafat itu, namun dalam perbedaan itu terdapat kesamaan, yaitu:
a) bahwa filsafat adalah suatu bentuk 'mengerti', b) semua mengakui bahwa
filsafat termasuk ilmu pengetahuan, c) dan ilmu pengetahuan ini mampu mengatasi
lain-lain ilmu, dalam arti lebih mendalam, lebih umum/universal, lebih sesuai
dengan kodrat manusia. Manusia pada kodratnya memang selalu ingin mengerti.
Mereka berpikir, merenungi, memahami, menelaah, menganalisa dan segala bentuk
berpikir lainnya, untuk menuju pada 'mengerti'. Dengan segala keterbatasannya,
manusia mencoba memahami mengapa mereka ada? Untuk apa ada? Haruskah dia ada?
Apa di balik sesuatu yang kita lihat? Belum lagi jika mereka menyelami diri
mereka sendiri, maka akan menemukan bertumpuk-tumpuk pertanyaan mengenai jati
diri manusia, memecahkan soal-soal tentang 'ada', tentang dunia dan manusia, tentang
hidup dan kehidupan dengan berbagai problemnya. Usaha-usaha mencari jawaban,
atau setidaknya sesuatu yang dapat meredam gejolak dalam diri mereka, itulah
yang dinamakan berfilsafat. Perbedaan antara orang yang berfilsafat dan orang
yang tidak berfilsafat boleh dikatakan terletak dalam sikap mereka terhadap
hidup manusia. 'Hidup' di sini meliputi segala sesuatu yang dialami dan
dirasakan manusia dalam dirinya sekaligus dirasakan dan dialami pula oleh orang
lain. Prof. S. Takdir Alisyahbana menuliskan dalam bukunya "Pembimbing ke
filsafat" sebagai berikut: "Bagi manusia, berfilsafat itu berarti
mengatur hidupnya seinsyaf-insyafnya, dan sesentral-sentralnya dengan perasaan
bertanggung jawab. Bukan bertanggung jawab terhadap si A atau B, tetapi kepada
pokok dan dasar hidup yang sedalam-dalamnya."
Tapi, filsafat juga tidak hanya melulu teori yang muluk-muluk saja,
melainkan ada sudut praktisnya juga. Karena semua upaya dan usaha manusia
memikirkan kenyataan sedalam-dalamnya itu pasti berpengaruh atas kehidupannya,
hingga dengan sendirinya bagian filsafat yang teoretis akan bermuara pada
kehendak dan perbuatan praktis. Kita tentu tidak hanya ingin mengerti saja,
kita ingin mengerti untuk dapat berbuat menurut pengetahuan yang kita peroleh
itu.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela-bela filsafat, atau bahkan
menganjurkan pembaca untuk mempelajari filsafat (dengan pengertian sebagai
sebuah disiplin ilmu pengetahuan 'sekuler'). Tidak, bukan untuk itu. Yang
menjadi tujuan utama penulis, bahkan yang mendorong untuk mengangkat judul di
atas, adalah kenyataan bahwa kegiatan berpikir dengan segala keragamannya telah
menjadi suatu aktivitas vital bagi manusia dan kehidupannya. Menjadi pembeda
antara manusia sebagai makhluk hidup dengan yang lainnya. Plato, filsuf Yunani
pada abad 3 sebelum masehi, merasakan bahwa berpikir dan memikirkan itu
merupakan nikmat yang luar biasa. Bahkan, Descartes sampai menyatakan ucapannya
yang terkenal, yaitu "cogito ergo sum" terlepas dari
kekontroversialan dan kenyelenehannya. Jika mereka yang tidak mengenal tuhan
dan agama saja begitu menikmati setiap detik aktivitas berpikir, maka kita
sebagai umat muslim tentu harus lebih tergugah dan giat dalam mengoptimalkan
fungsi akal kita dengan menggunakannya dalam hal yang lebih bermanfaat dan
terarah. Allah dalam kitab-Nya seringkali memuji orang-orang yang mau berpikir
dan merenungi ayat-ayat kekuasaan-Nya dan tanda-tanda kebenaran (seperti ayat
2:44, 2:164, 3:65, dan masih banyak lagi).
Selain dalam bentuk merenungi dan meresapi, aktivitas berpikir juga
dapat berupa ijtihad, dengan segala tingkatannya, sebuah upaya menggali dan
memahami makna yang tersembunyi dari teks sehingga membuahkan sebuah keputusan
hukum yang bersifat estimatis (dhonny). Tentunya semua kegiatan dan
aktivitas otak itu harus berada pada koridornya yang lurus, sesuai dengan
metode berpikir (manhaj) dan
dasar yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhamad. Karena bagaimana pun juga,
akal manusia mempunyai keterbatasan dalam daya nalar, di samping juga mempunyai
kelemahan yang bersifat manusiawi, yaitu hawa nafsu dan ego yang kadang bisa
mendorong dan merubah keputusan-keputusan yang sudah final. Kenyataan bahwa
akal manusia memiliki keterbatasan harus kita terima, kita sikapi dengan rendah
hati. Salah satu penyebab terjadinya kekacauan dalam alam berpikir kita adalah
dikarenakan kita terlalu mengandalkan rasio kita, mengalahkan kebenaran sejati
yang datang lewat jalan yang berada di luar jangkauan akal kita. Itulah mengapa
para filsuf sampai mengatakan bahwa alam ini tidak mempunyai permulaan (qidam).
Proses berpikir mereka telah terjangkiti rasa sombong, perasaan bahwa segala
permasalahan yang mereka hadapi dapat teratasi dengan penalaran akal pikiran
mereka semata. Padahal, salah satu tujuan umum dari filsafat adalah menyembuhkan
kita dari kepicikan, dari "aku-isme" dan "aku sentrisme",
artinya sifat memusatkan segala sesuatu kepada si "aku", mencari
jalan segala-galanya hanya untuk kepentingan dan kesenangan si-aku saja. Jika
jalan pikiran mereka masih tercemari oleh sifat sombong, merasa
"aku", maka hal itu sama saja mencederai salah satu asas dalam
filsafat, yang selama ini mereka agung-agungkan. Penyakit "aku" telah
menjadi sumber bagi berbagai malapetaka di dunia ini. Dunia menjadi ramai, manusia saling makan melebihi
binatang paling buas, semua diciptakan oleh sifat "aku" ini. Timbul
dari "aku". Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan
semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke aku-an semata.
Padahal kalau dicermati, akal manusia sangat lemah untuk berdiri
sendiri. Dia selalu membutuhkan terhadap dasar-dasar yang akan ia jadikan
pondasi dalam berpikir, menjadi premis-premis yang akan dijadikan media untuk
mencapai sebuah konklusi. Dalam setiap cabang ilmu pe-ngetahuan, bila kita
simak dengan seksama, maka akan selalu dimulai dengan sebuah asumsi-asumsi
dasar, dan asumsi ini menjadi sebuah "dogma postulat" yang harus
dipercaya tanpa kita dapat membuktikan kebenarannya. Inilah yang dinamakan
dengan "postulat aksiomatis". Sebenarnya kalau kita mau melakukan kontemplasi
dan merendahkan diri kita sejenak saja, maka harus kita akui bahwa sejatinya di
sinilah letak kelemahan kita sebagai manusia. Hipotesis atau teori yang kita
bangun sebagai sumbangan pada khazanah pengetahuan itu hanya berlaku dengan
asumsi-asumsi dasar yang membatasinya.
Sebagai contoh, teori matematika klasik yang paling dasar dimulai dengan
sebuah postulat geometri Euclidean yang berisi: "melalui dua
buah titik yang terletak sembarang di manapun, hanya akan dapat ditarik satu
garis lurus". Dengan logika dan kemampuan kita berimajinasi, kita
pasti dapat menerima ini. Namun kesadaran kita akan penerimaan ini sebagai
hasil imajinasi dan logika sama sekali bukanlah sebuah bukti matematika, dan
sayangnya asumsi ini ternyata tidak dapat dibuktikan oleh ilmu matematika itu
sendiri. Karena pada waktu itu harus diakui bahwa rumus-rumus matematika yang
lain belum lahir. Jadi bagaimana kita akan membuktikan hal ini? Justru setelah
asumsi di atas disetujui sebagai sebuah postulat aksiomatis yang tidak perlu,
dan memang tidak akan bisa dibuktikan secara matematis dan karenanya harus
diimani, maka kemudian rumus-rumus matematika lainnya yang lebih kompleks dapat
dijabarkan dan dibuktikan. Semua rumus matematika dan fisika yang sekarang
dianut manusia hingga mampu menciptakan pesawat
terbang yang melebihi kecepatan suara akan gugur semua bila postulat geometri Euclidean
di atas tidak diterima dulu sebagai aksioma yang tidak perlu dibuktikan. Hal
ini membuktikan bahwa manusia yang lemah membutuhkan suatu sandaran yang dapat ngayem-ngayem
gejolak hatinya kala menghadapi hal-hal di luar daya nalarnya. Seperti adanya
gaya gravitasi bumi, yang menyebabkan semua benda di atasnya meluncur ke bawah
begitu dilepaskan dari atas. Hal ini merupakan klimaks dari ketidakberdayaan
nalar manusia dalam mengungkap sesuatu di balik tabir itu. Gaya gravitasi
hanyalah sebuah nama tanpa kita tahu hakikat di baliknya. Karena kita tetap
tidak bisa memberikan jawaban yang benar-benar memuaskan saat ditanya, kenapa
burung-burung dan serangga kecil lainnya tetap bisa terbang melayang-layang di
udara? Masakan binatang sekecil itu mampu melawan gaya gravitasi yang sanggup
menarik binatang sebesar gajah jatuh ke bawah? Pertanyaan-pertanyaan semacam
ini terus terngiang tanpa mampu memecahkannya.
Sebagai lanjutan dari hal di atas, kita juga harus tahu bahwa kode rumus
filsafat sekuler berbeda dengan rumus agama (baca: Islam). Hal ini karena sifat
kebenaran filsafat adalah spekulatif, yaitu suat perenungan yang bersifat
praduga yang mengakar, menyeluruh, dan universal. Dimulai dengan keraguan (?),
setelah yakin lalu setuju (!), dan sesudah itu ragu dan bertanya lagi (?) untuk
mencari jawaban yang mengasas dan mendalam. Jadi kode rumus filsafat adalah :
(? ! ?). Sedang sifat kebenaran agama adalah mutlak karena bersumber dari Dzat
Yang Maha Benar, Maha Sempurna, yaitu Allah. Dimulai dengan keyakinan (!),
setelah itu menyelidiki kebenaran mutlak itu (?), dan setelah konsisten
meyakini hasil penyelidikannya itu, maka terjadilah pendalaman keyakinan itu yang
disebut taqwa (!). Jadi kode rumus agama ialah: (! ? !).
Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah, bahwa ilmu filsafat tidak akan
pernah bisa disandingkan dengan agama atas dalih untuk mencapai kebenaran
sejati, karena perbedaan mendasar yang telah disebutkan tadi. Pemaksaan dalam
penggunaan filsafat hanya akan menjerumuskan seseorang pada kebenaran semu,
yang berakhir pada kebingungan. Kita juga tidak harus mempelajari ilmu
filsafat, karena semua yang kita pelajari di sini, di madrasah ini, adalah "master-scientiarum"
alias induk dari semua ilmu pengetahuan dan merupakan representasi dari
pendirian Islam dalam bidang-bidang yang dimasuki filsafat sekuler, sehingga
kadang di antara umat Islam ada yang menamainya dengan filsafat Islam. Semua
yang terkandung dalam kitab-kitab tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, qowa'id,
tashawuf, semuanya mengandung dasar-dasar dan nilai-nilai filosofis yang
menjadi pegangan hidup seorang muslim.
Dan ungkapan Descartes di atas, sekali lagi, tidak dimaksudkan sebagai
bentuk dukungan penulis terhadap pemikiran-pemikirannya dalam filsafat.
Semboyannya itu sungguh telah memantik kesadaran baru dalam hati penulis.
Kesadaran itu timbul karena ungkapan itu seolah-olah menyatakan bahwa
"yang tidak berpikir bukanlah manusia, karenanya dia tidak dianggap
ada". Kesimpulan seperti ini mungkin masih disangkal oleh sebagian
pembaca, dan terkesan terlalu menghina yang lain, atau terlalu jauh mengambil
kesimpulan. Namun terlepas dari keterbatasan daya nalar penulis dalam memahami
teks, kira-kira seperti itulah yang muncul dalam benak penulis. Bagaimana
dengan anda?
SOKRATES, PLATO, ARISTOTELES,
KAFIRKAH?
Oleh: Ahmad Asyrofi, I Aliyah,
MUS.
Mengikuti pendapat
Al-Ghozali, ada tiga kesalahan dalam keyakinan kaum filosof yang menjadikan
mereka kufur; keabadian (qidam) alam, pengingkaran pengetahuan parsial
bagi Tuhan, dan tidak mengakui kebangkitan jasad. Disebutkan juga pada
karya-karya dalam disiplin ilmu Tauhid (teologi), pengkafiran ini di alamatkan -secara
umum- kepada kaum filosof, atau dengan kata lain, secara lahir sasaran
pengkafiran mereka (ulama) mutlak seluruh filosof yang memiliki ataupun
mengakui tiga pemikiran di atas. Namun jika diteliti lebih mendalam, pemahaman
atau pemaknaan secara lahir ini dapat menimbulkan kerancuan atau kontradiksi di
dalam pendapat mereka sendiri. Sebab, ada kenyataan bahwa sejarah filsafat
telah dimulai sejak lama dan telah menjadi peradaban bangsa Yunani jauh sebelum risalah Rasululloh
saw. Dengan begitu, kerancauan ini akan tampak ketika pemutlakan pengkafiran
filosof harus kita kaitkan dengan pendapat-pendapat mereka mengenai ahli
fatroh (manusia yang hidup pada masa kekosongan rasul atau tidak pernah
menerima ajaran agama).
Berarti sekarang kita harus mengetahui pendapat
ulama ahlus-sunah tentang ahli fatroh. Selain itu, kita juga
harus mengenal perkembangan filsafat serta sedikit pemikiran mereka, terutama
yang berhubungan dengan prinsip-prinsip
akidah Islam.
Sejauh yang saya temukan,
ada tiga pendapat dari kalangan Ahlus-sunah tentang nasib ahli fatroh.
Berikut uraian singkatnya:
1.
Pendapat
dari ulama Asya’iroh. Menurut mereka, semua ahli fatroh selamat masuk surga karena’ tidak ada hukum
taklif sebelum ada risalah, baik akidah maupun furu’iah. Dengan dalil Q.S Al-Isro:
15.
2. Dari kalangan Maturidi. Menmurut mereka
ahli fatroh masih di wajibkan untuk mengetahui dan mengakui wujud
pencipta alam ini. Sebab, akal dengan sendirinya mampu menjangkau pengetahuan-pengetahuan
tentang adanya pencipta. Namun terkhusus dalam hal ini saja, tidak lebih.
3.
Pendapat
yang di sampaikan An-Nawawi dalam tafsir Q.S Al-Isro: 15. Beliau menjelaskan,
ahli fatroh bisa diklasifikasikan menjadi 13 golongan. 6 di antaranya di surga,
4 di neraka dan 3 sisanya di bawah kehendak Allah atau tidak bisa dipastikan. Golongan
yang di surga terdiri dari mereka yang meng-Esa-kan Allah, baik melalui intuisi
atau ilham (3 kelompok), menelaah kitab-kitab nabi (1), atau mengikuti ajaran
kebenaran dari umat sebelumnya (2). Golongan yang dihukumi kafir adalah: (1)
dan (2) mereka yang menganut atheisma atau politheisme dengan cara taklid, (3)
mengingkari Tuhan (atheis) setelah sempat mengakuinya namun tanpa memaksimalkan
potensi nalar, dan(4) mereka yang telah mengetahui kebenaran tapi
mengingkarinya. Golongan terakhir adalah: (1) dan (2) mereka yang tidak
mengakui adanya pencipta, baik sempat mengakuinya atau tidak, namun disebabkan
potensi penalaran mereka yang lemah, dan (3) penganut politheis, namun
kepercayaan mereka diperoleh melalui proses penalaran hanya saja mereka melakukan
kesalahan (terpleset) pada proses tersebut.
Sekarang kita akan membahas secuil perkembangan
filsafat dan pemikiran-pemikirannya. Dalam filsafat Islam, filsafat Yunani
terbagi menjadi dua periode, zaman Helienis atau Yunani (abad ke 6SM sampai
abad ke 4 M) dan zaman Hellenistis-Romawi (abad ke 4S M-abd ke 8M). Setelah
abad inilah lahir filsafat dari dunia Islam yang diantaranya dibawa oleh Al-Kindi,
Ibnu Sina, Al-Farobi sampai pada masa Ibnu Rusd, yang diikuti setelahnya oleh
Suhrowardi, M. Iqbal dan lainnya sampai pada abad ke-13, namun untuk kali ini,
kita akan melihat pemikiran dunia filsafat periode awal.
Pada periode awal, dunia filsafat Yunani diwarnai
banyak aliran filsafat, masing-masing dengan perbedaan subtansial pada dasar
pemikirannya, ada filsafat alam dari Militte dengan corak materealistis,
leukippos dan demokritos dengan atomismenya, kaum Elea (metaafisis), Phytagoras
(mistis dan matematis), kaum Sofis, juga tiga filosof besar, Sokrates, Plato
dan Aristoteles, dalam Al-Munqidz min Al-dholal, Al-Ghozali menyederhanakan
aliran-aliran filsafat yang ada menjadi tiga aliran: Pertama,
materealis (Zhohriyyun). Aliran ini meyakini bahwa alam ini telah ada
sejak dulu tanpa didahului dari ketidakadaannya, dan akan selalu demikian
adanya. Mereka pun tidak menyetujui adanya pencipta bagi alam ini. Kedua,
naturalis (Thob'iyun). Aliran ini sedikit berbeda dari aliran
sebelumnya, penganut aliran ini begitu terpesona dengan alam beserta
fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya, dan membawa mereka berkesimpulan,
alam ini pasti diciptakan. Namun keterpesonaan terhadap alam materi juga
membuat mereka mengingkari segala hal yang non-materi, seperti pendapat mereka,
jiwa manusia akan hancur begitu jasadnya mengalami kematian. Dengan begitu,
mereka tidak memercayai adanya hari pembalasan. Ketiga, Atheis
(Ilahiyyun). Termasuk dalam kelompok aliran ini, Sokrates, Aristoteles, dan
Plato yang menjadi guru bagi filsafat Islam seperti Ibnu Sina, Al-Farabi dan
lainnya, meskipun memiliki dasar pemikiran yang berbeda, namun mereka semua
mengakui eksistensi sang pencipta, jiwa manusia dan hari kebangkitan, meski
demikian, dalam pemikiran-pemikiran aliran ini masih terdapat hal yang membawa
mereka dan para pengikutnya terpeleset pada jurang kekufuran.
Selanjutnya, dengan menpertimbangkan bahwa dasar akidah
Islam mencakup pengakuan akan eksistensi pencipta alam dan mempercayai
kehidupan setelah kematian, maka kaun materealis dan naturalis disebut Al-Ghozali
sebagi zindiq, sementara untuk aliran terakhir, meskipun mengakui dua prinsip
akidah tersebut, namun karena masih membawa keyakinan-keyakinan yang
berbenturan dengan akidah Islam, Al-Ghozali dengan jelas menyatakan kekafiran
mereka beserta filosof dari dunia Islam yang mengikuti filsafat mereka.
Sekarang tinggal satu pertanyaan yang tersisa,
apakah filosof Yunani ini -yang hidup pada sekitar abad VI SM sampai abad IV SM-
termasuk ahli fatroh atau tidak? Jika tidak, atas dasar apa kita
memastikan mereka bukan ahli fatroh? Dan ketika tak ada dalil
pasti yang menunjukan hal ini rasanya terlalu 'lancang' kita mengkafirkan
mereka (bukan pemikiran mereka yang dikondisikan dengan syariat kita). Sebab,
berarti masih ada kemungkinan bahwa mereka termasuk ahli fatroh, yang
tentu membuat kondisi mereka berbeda, kini seandainya disepakati bahwa mereka
termasuk ahli fatroh, maka menurut pendapat Asya’iroh, secara mutlak
mereka tidak bisa dikafirkan. Sedangkan menurut Maturidi, hanya aliran
materealis yang layak dikafirkan, sementara dua aliran lainnya tidak. Terakhir,
saat mengikuti penjelasan An-Nawawi, rasanya sulit untuk mengkafirkan mereka.
Dengan alasan kebanyakan ahli filsafat selalu mendasari keyakinan mereka dengan
proses penalaran yang radikal, sejauh batas kemampuan akal manusia. Paling
jauh, kita hanya bisa memasukkan mereka pada golongan ketiga, menyerahkan nasib
mereka di bawah kehendak Allah.
Akhirnya, mengikuti pendapat Asya’iroh sebagai
pendapat yang lebih diunggulkan dari pendapat lain, yang menyatakan akal dengan
sendirinya tidak mungkin menjangkau pengetahuan tentang eksistensi sang
pencipta -apalagi hukum syariat lain- sebagaimana pengakuan Al-Ghozali, maka
mau tidak mau pernyataaan ulama harus kita arahkan pada khusus pada filosof
dari dunia Islam yang mengikuti filosof Yunani, bukan filosof Yunani itu
sendiri, karena dari sebuah karya yang menceritakan pemikiran dan sepotong
perjalanan hidup salah satu dari mereka, kita bisa melihat latar belakang
kepercayaan masyarakat Yunani saat itu yang menganut politisme. Hampir tidak
pernah di singgung adanya agama murni, mungkin hal ini bisa membuktikan bahwa
saat itu tak ada ajaran tauhid, namun kita juga tidak punya bukti bahwa mereka
menerima ajaran tauhid, dan ketika tidak ada
kepastian, kita tak bisa menjatuhkan sebuah keputusan. Apalagi vonis
kafir.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk
membela mereka, para pendiri ilmu filsafat. Sekali lagi, tidak sama sekali,
semua ini hanya upaya menyingkirkan kemusykilan yang timbul dari permasalahan
di atas. Mungkin saja pemutlakan kekafiran ulama terdorong oleh perhatian
mereka terhadap pengaruh pemikiran filsafat bagi akidah umat Islam, dari pada
memikirkan nasib filosof-filosof tersebut di akhirat kelak, karena di samping
tak ada kepastian ke-fatrohan mereka, juga ada
kemungkinan bahwa keumuman dalil yang diajukan Asya’iroh tidak mutlak,
tapi bisa juga dihususkan oleh sebuah Hadist shohih, jadi mungkin jawaban yang
paling tepat untuk judul di atas adalah "Wallahu A’lam".
KONSEPSI KAJIAN LINTAS MADZHAB
SOLUSI PROBLEMATIKA SOSIAL
MASYARAKAT
Oleh: Ahmad Asyrofi, I Aliyah, MUS.
Sebagaimana
diakui banyak kalangan, masyarakat Indonesia, terkhusus kelompok yang mengakui
keharusan bermadzhab, mempunyai tradisi yang telah mengakar kuat untuk hanya
mengakui satu madzhab tertentu, terkesan menganggap tabu untuk berpindah
madzhab kecuali pada keadaan yang tidak memungkinkan, atau bisa dikatakan dalam
kondisi darurat.
Monopoli
madzhab Syafi'I yang sebagai satu-satunya madzhab yang bisa diterima secara
luas oleh seluruh masyarakat Indonesia,
membuat madzhab-madzhab yang lain sangat sedikit mendapat kajian apalagi dipertimbangkan
untuk menjadi solusi dalam mengatasi problematika social. Dan seandainya
diangkat pun seringkali hanya memunculkan pro dan kontra dari masyarakat, dan
terkadang menciptakan friksi tanpa adanya jalan tengah yang bisa mendamaikan.
Sekarang
kita akan mencoba membahas fenomena yang jamak terjadi di sekitar kita melalui
berbagai sudut pandang, kacamata, dan perpektif yang berbeda dan kemudian
menilainya secara obyektif sebagai kajian yang dapat menghasilkan beberapa
kesimpulan serta merangkainya menjadi sebuah konsep yang mampu membentuk
kerangka guna membangun masyarakat dengan kondisi yang lebih baik.
Rasanya
sudah sangat jelas bagi kita, dalam hal bermadzhab, bagaimana para ulama kita
menjelaskan tata tertib, aturan-aturan serta pola mengikuti pendapat seorang
ulamadalam urusan-urusan keagamaan. Kita pun memiliki pendapat kuat yang
memperbolehkan berpindah madzhab, baik secara total maupun dalam beberapa
permasalahan tertentu dengan satu catatan penting. Bahkan meski tak ada
pendorong apapun selain hanya ingin mengikuti madzhab tertentu. Tanpa menafikan
pendapat lain, dengan berpegang pada pendapat ini seharusnya solusi pemecahan
problematika sosial masyarakat kita akan semakin terbuka dengan semaikn
banyaknya pendapat hukum yang bisa kita pertimbangkan untuk kemudian ditawarkan
kepada masyarakat luas. Sebab jika hanya mempertimbangkan atau mengikuti
pendapat-pendapat dalam lingkaran sebuah madzhab, dan terkadang kita juga harus
dihadapkan pada situasi-situasi sulit, rumit, pelik, bahkan buntu dalam upaya
memecahkan permasalahan masyarakat.
Tidak
bisa dipungkiri, keadaan lingkungan yang menjadi tempat tinggal dalam interaksi
sosial kita adalah masyarakat dengan kondisi yang sangat beragam, plural, dan
digerakkan oleh sistem kehidupan yang menuntut masyarakatnya untuk selalu
mengikuti setiap putaran roda kehidupan yang begitu cepat, jika tidak mau
ketinggalan dan tergerus zaman. Hal ini mau tidak mau berdampak pada makin
kompleksnya permasalahan yang mungkin dihadapi masyarakat. Jika masalah-masalah
ini terus dibiarkan tanpa ada jalan keluar yang bisa diterima secara luas, maka
akan terjadi kekacauan pola pikir kehidupan masyarakat, disebabkan tidak adanya
hal yang bisa mengkompromikan tuntutan kehidupan dan tuntutan keagamaan (baca:
agama) yang dianut mereka. Untuk itu, sikap yang tepat adalah terus
mengupayakan sesuatu yang bisa ditawarkan sebagai pemecah permasalahan sosial
masyarakat tanpa keluar dari batasan syari'at, tapi juga tidak mempersempit
batasan-batasan itu sendiri, salah satunya dengan melakukan kajian-kajian
terhadap madzhab-madzhab yang ada.
Sebelumnya
kita harus menyadari bahwa nilai esensial dari aturan-aturan syari'at,
khususnya aturan dalam konteks kehidupan sosial, adalah menciptakan stabilitas
umum dan menekan kemungkinan terjadinya konflik di antara masyarakat dalam
segala aktivitas sosial mereka. Dengan begitu, pada dasarnya aturan syari'at
sama sekali tidak mengekang ataupun mempersempit kebebasan masyarakat dalam
mengolah kehidupannya, melainkan memberi batasan agar mereka tidak keluar dari
garis-garis kehidupan yang semestinya. Sehingga peradaban yang sedang dibangun
tidak dihancurkan oleh perbuatan mereka sendiri. Kita akan menemukan bukti atas
semua ini jika kita mau memahami teks-teks karya fiqh secara mendalam. Dengan melakukan
pendekatan sosio-historis dan aspek-aspeklain, kita dapat melihat kesempurnaan
aturan-aturan Islam yang terepresentasikan melalui hukum-hukum fiqh dalam upaya
menciptakan suasana kondusif pada sebuah masyarakat. Yang lebih penting lagi,
semua aturan ini bukan hanya sekedar konsep-konsep kosong, tapi memang sangat
logis untuk diaplikasikan pada kehidupan nyata. Nah, sekarang ketika kita
menemukan sebuah masyarakat dengan kondisi sosial yang jauh berbeda, kita pun
dituntut untuk menerjemahkan aturan-aturan yang telah ada sesuai dengan aktual
masyarakat kita.
Adapun
sesuatu yang alamiah, jika dalam usaha memenuhi kebutuhan, manusia selalu
berusaha menciptakan cara atau perangkat baru yang membantu mereka meraih apa
yang menjadi tujuan dengan lebih mudah. Seperti biasanya setiap hal tentu punya
dua sisi, sisi baik dan sisi buruk. Untuk menilai apakah cara tersebut layak
digunakan kita lihat, jika pada dasarnya cara tersebut berpotensi merugukan,
maka lebih baik kita tinggalkan, sementara jika tidak, kita pun bisa
menerimanya sebagai hal baru yang patut disyukuri. Asalkan tidak berbenturan
dengan prinsip ataupun teks-teks eksplisit syari'at, bahkan pada pentafsiran
pertama ketika hal tersebut berpotensi menciptakan benturan-benturan pada
kehidupan sosial jika memang ada tuntutan kebutuhan masyarakat luas, maka kita
perlu mempertimbangkannya serta berupaya menetralisir sisi negatif yang dibawa,
dengan cara menetapkan aturan-aturan tambahan yang tidka boleh dilupakan. Semua
pertimbangan ini harus didasarkan dan selalu berpedoman pada prinsip-prinsip
syari'at Islam.
Setelah
memperhatikan uraian panjang di atas, bisa dimengerti mengapa dalam upaya
memecahkan problematika sosial masyarakat, kajian lintas madzhab perlu
dipertimbangkan. Sebab jika memang telah ditemukan solusi yang pas dari sebuah
madzhab yang diakui mayoritas masyarakat, tentu hal ini sudah jelas. Tapi
bagaimana jika tidak, situasi inilah yang akan membuat keadaan semakin rumit.
Saat ini kita terus memaksakan hanya mengambil pendapat dari satu madzhab.
Karena sering kali situasi ini menggiring kita kepada pencocokkan atau peng-ilhakkan
dua hal berbeda dalam banyak sisi. Atau pada kesempatan lain bersikukuh tetap
berpegang pada teks-teks yang ada. Semenatar, seandainya mau melangkah lebih
maju lagi, kita akan menemukan solusi yang tepat dari khazanah madzhab lain.
Akibatnya, kita pun terpaksa menawarkan solusi yang sulit diterima masyarakat.
Selanjutnya pada saat permasalahan yang kita hadapi adalah sebuah pendukung
kehidupan yang telah berlaku umum pada sebuah masyarakat, mereka pun terdesak
untuk keluar dari batasan-batasan syari'at. Daripada harus terjebak untuk
mencarikan legalitas syari'at bagi persoalan masyarakat dengan cara yang tidak
dibenarkan. Apalagi jika tetap seperti ini, dikhawatirkan sikap kita bisa
dikatakan mempersempit keluasan yang telah diberikan syari'at untuk umat.
Padahal sebenarnya pandangan kita sendirilah yang telah dipersempit oleh
keengganan kita menelaah kekayaan kajian ulama di masa lalu. Wallahua'lam.
SELAMATKAN NU-MU!
Oleh: Ahmad Asyrofi, I Aliyah, MUS.
Kerangka pemikiran
yang membangun ideologi JIL sebenarnya sangat rapuh. Kenyataan ini melemahkan
asumsi bahwa tujuan ideology yang mereka perjuangkan adalah mencari kebenaran
sejati. Dan sebaliknya untuk menguatkan dugaan, gerakan mereka sejatinya
hanyalah sebuah bentuk propaganda untuk melemahkan dan menghancurkan
pondasi-pondasi islam yang telah berdiri kokoh berabad abad lamanya dan
berkamuflase dengan menggunakan atribut islam untuk menutupi maksud utamanya.
Sebab, seandainya saja asumsi pertama benar, seharusnya mereka tak perlu ngotot
mempertahankan pemikiran yang dibangun atas dasar argument dan paradigma yang
telah terbukti lemah, adalah suatu kesalahan fatal bagi seorang pencari
kebenaran sejati untuk tetap berpijak pada argumen lemah dalam usaha menggapai
tujuan.
Berarti, kita boleh sepakat menabuh genderang perang melawan liberalisasi
islam dengan segala macam bentuknya. Namun demi menghasilkan kemenangan kita
mesti memahami terlebih dahulu seluk beluk, latar belakang serta kekuatan dan
kelemahan lawan kita. Nah, sebagai pijakan dasar ada sebuah pertanyaan yang
perlu kita jawab sebelumnya. Mengapa faham yang mereka tawarkan laris manis
diterima sebagian masyarakat, terutama kaum mudanya padahal hanya berdasar pada
pola pikir serampangan. Bahkan lebih jauh, mereka mampu menembus struktur
organisasi yang dipenuhi ulama-ulama hebat. Perlu diingat juga, perang yang
sedang kita hadapi adalah perang ideologi. Tentunya senjata yang kita butuhkan bukanlah
pedang, senapan atau senjata militer lainnya. Karena dengan hanya berbekal
senjata seperti tadi kita hanya mampu memusnahkan manusia-manusianya saja,
tidak dengan hasil pemikirannya. Dan selama pemikiran itu belum dihancurkan
hingga ke akar-akarnya, maka suatu saat dengan mudah pemikiran tersebut akan
muncul kembali dengan wajah baru. Dengan begitu, sangat jelas betapa pentingnya
sebuah media yang mampu memblok ideologi mereka serta mementahkan semua
argument yang mendasarinya agar tidak sampai mempengaruhi pola pikir masyarakat
kita. Tapi sayangnya salah satu media itu kini berada dalam bahaya. NU, ormas
yang mengusung dan memperjuangkan faham ahlus sunnah dan telah memiliki
pengaruh luas di Indonesia,
malah harus menghadapi bahaya liberalisasi dalam tubuh keanggotaan
strukturalnya sendiri.
Sebagai informasi tambahan, menurut Laode Ida dalam "NU Muda"nya,
sebenarnya cikal bakal ancaman yang tengah dihadapi NU saat ini telah dimulai
sejak lama. Diawali dengan terpilihnya mendiang Gus Dur, yang mewakili generasi
muda NU saat itu, menjadi ketua PBNU pada muktamar ke-27 tahun 1984 di
Situbondo. Sejak saat itu NU memiliki dua kubu besar yang saling bertentangan.
Yang pertama berada di belakang kiai-kiai sepuh dengan ciri berwatak
tradisional (konservatif). Di pihak lain, muncul kubu pembaharu (progresif)
yang dimotori Gus Dur. Kubu yang terakhir ini, dengan generasi mudanya
berhasrat mendobrak sistem lama yang dirasa kurang cocok dengan semangat
demokrasi dan alam modern. Salah satunya adalah tradisi sikap patronasi
(menjadikan suri tauladan) berlebih yang telah mendarah daging di kalangan
warga NU selama ini yang merupakan bentuk kelaziman latar belakang pesantren
yang dibawa mayoritas warganya. Dengan duduknya Gus Dur di tampuk kepemimpinan
organisasi, kalangan NU progresif pun semakin mudah menancapkan pengaruhnya dan
mulai mendominasi control dalam menentukan arah perjuangan keorganisasian NU.
Gesekan dua pola pikir di dalam NU ini masih tetap adem ayem -mungkin karena
masih dianggap sebagai perbedaan yang membawa rahmat- sampai pada akhirnya Gus
Dur mulai "berulah" dengan sering mengorbankan perasaan warga
nahdliyin sendiri hanya demi membela kepentingan golongan minoritas di negeri
ini. Meskipun sikap "beliau" diakui menyakitkan, berkat rasa
patrilineal (sistem pengelompokan sosial yang mementingkan garis keturunan dari
jalur ayah) yang kental, warga nahdliyin masih saja mentakwil berbagai
kenyelenehan Gus Dur. Maklum saja, Gus Dur itu kan "gus triple" dan
mewarisi gen pendiri NU. Jadi selalu saja ada rasa ewuh pakewuh, untuk
menegur atau mengingatkan kalau-kalau berbuat keliru. Baru sekitar lima tahun belakangan saat
kesabaran warga NU habis atau mungkin juga mulai sadar untuk membuka mata
labar-lebar. Mereka tidak bisa lagi mentolerir kenyelenehan Gus Dur yang
semakin menjadi-jadi dan semakin tidak bisa didiamkan. Kalau saja yang terjadi
memang demikian, berarti sudah dua puluh lima
tahun lebih benih-benih liberalisme tumbuh subur di dalam tubuh NU. Dan bisa
dibayangkan seberapa kuat dan besarnya pengaruh liberalisme terhadap arah
pemikiran warga NU.
Sampai sejauh ini, secara garis besar sebagai jam'iyyah kemasyara-katan,
arah perjuangan NU memang masih tetap berpegang pada dasar-dasar akidah
Ahlussunnah, meskipun ada juga sebagian kalangan yang mengatakan NU semakin
liberal. Yang perlu dikawatirkan bisa saja dalam beberapa tahun kedepan
ideologi yang sudah mapan ini akan segera berge-ser seiring menguatnya pengaruh
kader-kader JIL pada jajaran kepenguru-san organisasi. Dengan wewenang lebih,
tentu mereka akan leluasa melakukan manuver-manuver politiknya dalam rangka
merubah pola pikir NU, baik dalam sisi jam'iyyah maupun jamaahnya menuju corak
berpikir lilberal. Sekarang, ketakutan akan hal ini semakin tampak nyata dengan
hadirnya tiga kandidat ketua PBNU untuk periode mendatang yang sering
diberitakan berpandangan liberal. Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana
orang-orang seperti Ulil Abshor bebas melangkah sampai sejauh ini tanpa ada
usaha menghentikan atau kasarannya (lebih kasar lagi red) memboikot mereka
beserta pemikirannya dari tubuh NU. Bukankah disana masih banyak kyai-kyai yang
selalu memperjuangkan dan menjaga akidah masyarakatnya dari setiap hal yang
berpotensi menjerumuskan pada kesesatan?! Yach, harus disadari memang,
NU sendiri hidup ditengah-tengah kebangsaan yang demokratis, profan dan plural.
Selain itu, wajah NU juga sudah banyak berubah. Kini NU tidak lagi hanya milik
kalangan yang mligi dari pesantren. Tapi juga milik mereka-mereka dengan
basic non-pesantren. Maka dengan sendirinya, masing-masing dari pihak ini harus
disinergikan agar tidak memunculkan benturan di dalam orientasi perjuangan NU
sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan. Kemudian, kenyataan bahwa demokrasi
di Indonesia lebih cenderung bersifat liberal, suatu sitem politik yang begitu
getol membela kebebasan hak berpendapat, menjadi kesulitan tersendiri untuk
mengcounter faham-faham baru, meskipun jelas-jelas menyimpang dan berpotensi
merusak tatanan masyarakat. Jadi, sekeras apapun kita meneriaki sesat, mereka
tak mungkin berhenti, karena merasa apa yang mereka lakukan sah-sah saja,
apalagi sampai harus takut pada pencekalan oleh UU. Dengan demikian jalan yang
tersisa, kita harus menghadapi dengan terbuka.
Tidak kalah penting, mungkin perlu adanya kesepakatan mengenai batasan-batasan
sampai dimana suatu pendapat dikatakan liberal dan mana yang sekedar
penyesuaian dengan perkembangan atau perubahan kondisi yang ada, tapi masih
dalam batasan yang dibenarkan, sebab sepertinya setiap orang punya persepsi
sendiri-sendiri tentang liberalisme. Terkadang hanya berargumentasi dengan
logika, seseorang bisa memvonis anda liberal. Bukankah yang semacam ini terlalu
dilebih-lebihkan, malahan semakin mengaburkan esensi liberalisme sendiri.
Ujung-ujungnya, bisa-bisa setiap orang dicap liberal oleh yang lainnya. Ini
memang masalah sensitif, kita tidak bisa sembarangan memvonis atas suatu
pernyataan tanpa memahami secara utuh pernyatan tersebut. Kalau masih bisa
didiskusikan, kenapa tidak, dari pada harus saling serang argumen yang bisa
menjurus kedebat kusir, bukannya menghasilkan kesepakatan, yang ada malah mem-pertajam
perselisihan.
Akhirnya sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk menghada-pi tantangan
dimasa depan yang saat ini sudah muncul di depan mata. Dan, terserah anda
memilih aktif terlibat dalam organisasi NU atau sekedar menjadi warga NU,
selamatkan kendaraan yang berfungsi mengakomodir langkah dan tujuan kita ini
dari segala ancaman ideologi yang menyim-pang. Namun juga tidak boleh dilupakan
NU itu terbuka bagi siapa saja tanpa memandang latar belakang mereka. Dan untuk
mampu bertahan hi-dup ditengah masyrakat yang plural, kita dituntut untuk
bersikap toleran dan terbuka atau (open minded), tinggal nantinya bagaimana
kita harus tegas menentukan garis, sampai sejauh mana toleransi masih dibenarkan.
Terakhir, meskipun kita tidak boleh asal menuduh seseorang dikatakan liberal,
namun kita tetap perlu mewaspadai bibit-bibit liberalisme yang tumbuh disekitar
kita, apalagi dengan menyadari, pengaruh sebuah ideo-logi bisa masuk kepikiran
seseorang tanpa pernah ia sadari, mulailah pe-duli dan tanggap terhadap orang-orang disekitar
anda. Sebelum mereka berubah menjadi pribadi yang belum pernah anda kenal
sebelumnya. Wal'iyadzbillah.
SEPARATISME DOKTRIN ISLAM
Oleh: Ali Ja'far, III Aliyah, Al Anwar
Pada suatu hari Umar bin
Khotob mengeluh dan bertanya-tanya, mengapa umat Islam berbeda pendapat,
sementara nabi mereka satu, dan kiblat mereka juga sama. Ibnu Abbas menjawab; “Al-Qur'an
turun pada kita, dan kita membacanya, serta mengetahui betul masalah turunnya (asbabun-nuzul).
Nanti, akan ada generasi, setelah kita yang membaca Al-Quran tetapi mereka tak
mengetahui masalah sebab turunnya. Masing-masing punya pendapat
sendiri-sendiri, tentang masalah tersebut, lalu timbul perbedaan pendapat hinga
mereka saling cekcok, mempermasalahkan pendapat tersebut.”
Sebagai seorang sahabat
yang memiliki kecerdasan intlektual luar biasa dalam menafsirkan ayat Al-Quran,
jawaban Ibnu Abbas memang tepat. Apa yang diungkapnya adalah respon dalam
menafsirkan ayat Al-Quran sebagai mana yang terdiktum dalam surah Al-An'am ayat 153:
وأن هذا صراطي مستقيماً فاتّبعه ولا تتّبعوا السبل
فتفرّق بكم عن سبيله 4 ذلكم وصّاكم به لعلّكم تتّقون. [الأنعام : 153]
Pendapat ini memang benar
adanya, dan dimulai ketika sehari setelah kewafatan beliau Rasulallah, umat
Islam mulai dilanda konflik perpecahan. Berawal dari perebutan kekuasan yang
dilakukan oleh kelompok yang hanya mengakui dzuriah (keturunan)
Rasulallah sebagai khalifah pengganti beliau (Syi'ah). Walaupun gerakan
ini pada awalnya telah berhasil diminimalisir, tapi embrio yang berkembang
terus tumbuh hingga berhasil menemukan wujud nyatanya di kemudian hari. Organisasi
ini mula-mulanya hanya didorong oleh seputar wilayah perpolitikan, namun pada
akhirnya beralih haluan dan cenderung mengarah pada permasalahan akidah (teologi)
dan ideologi.
Pada waktu terbunuhnya
Usman bin Affan, disusul dengan beralihnya kekuasaan pada Khalifah Ali, pengganti
beliau, perselisihan dan pertentangan pendapat di antara kaum muslimin, telah
memasuki fase baru, dalam fase ini perseteruan dan perselisihan pendapat telah
memperoleh wujud konkritnya, dan menjelma menjadi berbagai bentuk aliran. Peperangan
yang dipimpin Sayyidah Aisyah pada masa khalifah keempat dalam Perang Jamal,
disusul dengan kudeta Mu'awiyyah dalam peristiwa tahkim, semakin
memperburuk keadaan, serta ikut menyumbangkan perpecahan internal dikalangan umat
Islam.
Diakui atupun tidak,
perpecahan yang ada telah melahirkan dogma dan doktrin baru dalam Islam.
Perpecahan tersebut terus berlanjut sampai saat ini, di mana aliran dan sekte
baru dalam Islam sering bermunculan dan sulit dikendalikan dan berjalan semakin
liar. Tidak dulu, tidak sekarang, masing-masing kelompok memiliki kekuatan yang
sama, mereka memiliki visi dan misi yang siap dieksploitir untuk menghalau
aliran atau faham lain yang berusaha mengintervensi pemikiran dan ajarannya.
Dalam perpecahan yang
begitu besar, tak jarang umat Islam terseret, terjebak, dan terperangkap ke dalam
berbagai sekte yang hanya mengakui eksitensi kelompoknya. Faham lain di luar
kelompoknya adalah sesat dan menyesetkan. Memang tak ada kekuatan yang dapat
menghimpun, ataupun menyatukan pendapat yang beragam, apalagi pendapat tersebut
sudah menjadi mainstreem bagi aliran tertentu. Lantas sejauh mana
barometer dalam koridor ilmiah, yang menentukan sebuah aliran disebut sesat dan
menyesatkan. Dan sejauh mana sebuah perbuatan dianggap bid'ah.
Pada suatu ketika, Imam
Ali ditanya mengenai kelompok yang menentangnya. Apakah mereka itu menjadi
kafir, sahabat Ali menjawab: “Tidak, mereka jauh dari kekufuran.” Lalu ada lagi
yang bertanya, apakah mereka itu orang-orang munafik, beliau menjawab lagi: “Tidak,
seorang munafiq tidak mengingat Allah kecuali sedikit, tapi mereka yang
menghianatiku selalu berdzikir kepada Allah.” Lalu siapa mereka? Beliau pun
menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang tertimpa fitnah, mata dan hati mereka
buta, dan telinga mereka menjadi tuli.”[1]
Sudah menjadi konsensus
para ulama, bahwasanya seorang yang telah berikrar dengan dua kalimat syahadah
secara otomatis menjadi umat tauhid dan menjadi pengikut Nabi Muhamad, yang tak
boleh dikafirkan, ataupun dibunuh. Darah dan kehormatan mereka dilindungi
kecuali setelah mereka menerjang garis demarkasi Islam (huququl Islam).
Maka dari itu umat Islam dari mana pun dan dari golongan apapun, yang masih
tetap konsis pada khuququl Islam adalah satu, mereka ada pada level yang
sama sebagai umat tauhid, walaupun telah melakukan dosa besar, dan
asalkan tidak menghalalkannya.
Sementara kelompok yang
melempar konsep kufur dan iman, sebagai alat justifikasi (pembenaran) kelompoknya
masing-masing atau sebagai wujud antipati kelompok lain, adalah bentuk
kejahatan besar, kriminalitas yang tak dapat diampuni. Karena parameter yang
digunakan untuk menentukan kufur dan iman adalah ideoloi masing-masing. Apa
saja yang sesuai dengan ideologi kelompoknya adalah bersih dan benar,
sebaliknya apa saja yang tidak sesuai berarti kotor, najis, kufur, zindik dan
lain sebagainya.
Dalam sikap ekslusif dan
fanatik yang berlebihan, perlulah kiranya kita menyimak sabda beliau
Rasulallah, dan bercermin pada penuturan beliau salafus shalih.
قال الامام احمد: إن الإيجاب والتحريم والثواب والعقاب والتكفير
والتفسيق هو الى الله ورسوله، ليس لأحد في هذا حكم، وإنما على الناس إيجاب ما
أوجبه الله ورسوله وتحريم ما حرمه الله ورسوله، وتصديق ما أخبر الله به2 (مجموع
الفتاوى 5: [2]554)
قال ابن تيمية رحمه الله : الكفر من الأحكام
الشرعية، وليس كل من خلف شيئا علم بنظر العقل يكون كافرا، ولو قدر انه جحد بعض
صرائح العقول لم يحكم بكفره حتى يكون قوله كفرا في الشريعة.
Imam Ahmad berkata: “Sesungguhnya
mewajibkan atau mengharamkan, memberi pahala atau siksa, mengkafirkan atau
mefasiqkan adalah hak prerogatif Allah dan RasulNya, orang lain tak memiliki
wewenang untuk membuat ketetapan, yang ada pada manusia hanyalah mewajibkan apa
yang diwajibkan Allah dan RasulNya, serta mengharamkan apa yang diharamkan
Allah dan RasulNya, dan membenarkan apa yang dibawanya (Majmu' Al Fatawa 5;554)
Ibnu Taimiyah berkata
(semoga dirahmati Allah): “Kufur itu mengingkari hukum syari'ah', dan seseorang
tidak dikatakan kafir dengan hanya melanggar ketentuan yang hanya diketahui
lewat eksplorasi akal, walaupun yang diingkari itu cukup mudah untuk
diangan-angan ia tidak bisa dihukumi kafir sehingga apa yang diucapkan
menjadikanya kafir menurut syariah''(Majmu' fatawa 5;525)
Pada waktu Umar bin Abdul
Aziz naik tahta, beliau naik mimbar. Dalam pidatonya beliau tak lupa
menyisipkan orasi keagamaan. Pidato itu berbunyi:
أيها الناس انه ليس
بعد نبيكم نبي، ولا بعد كتابكم كتاب، ولا بعد سنتكم سنة، ولا بعد أمتكم أمة ألا
وان الحلال ما أحل الله في كتابه على لسان نبيه حلال الى يوم القيامة، ألا وان
الحرام ما حرم الله في كتابه على لسان نبيه حرام الى يوم القيامة، ألا واني لست
بمبتدع ولكني متبع، ألا واني لست بقاض ولكني منفذ، ألا واني لست بخازن ولكني اضع
حيث امرت، ألا واني لست بخيركم ولكني اثقلكم حملا، ألا لا طاعة لمخلوق في معصية
الخالق. (الفرق بين الفرق)
Hai segenap kaum
muslimin, tak ada setelah nabi kalian Nabi baru, dan tak ada setelah kitab
kalian (Al-Quran) kitab baru, tak ada setelah sunnah kalian sunah baru tak ada
setelah umat ini umat baru, ketahuilah sesungguhnya halal adalah apa yang
dihalalkan Allah dalam kitabNya melalui perantara NabiNya halal sampai hari
kiamat, dan haram adalah apa yang haramkan Allah dalam kitabnya melalui
perantara NabiNya haram sampai hari kiamat, ketahuilah aku bukan seorang
pembuat bid'ah tetapi aku hanyalah pengikut, aku bukan seorang qodhi tapi aku
hanya menjalankan perintah, aku juga bukan yang menentukan, tapi aku hanya
meletakkan apa yang diperintah, aku bukan yang terbaik diantara kalian, tapi
aku memanggul beban yang lebih berat, dan tak ada kepatuhan pada makhluk untuk
melakukan ma'siat pada Tuhannya.''(Alfarqu baina al-firoq)
Sejak abad pertama
Hijriyah, akidah ahlussunah wal jamah berada pada puncak
kesakralan dan kemapanannya, orientasi peribadatan selalu merujuk pada akidahnya
ahlussunah waljamah sebagai hakim penentu keselamatan dan
kesesatan. Otensititas akidah dijaga betul melalui elemem-elemen kekuasaan dan
tangan-tangan para Ulama, sehingga terus bertahan dalam keorisinilannya.
Seiring dengan denyut
nadi perkembangannya, gerakan yang mengatasnamakan menjaga otensitas akidah,
tergolong cukup massif, misalnya dengan memunculkan ''kampanye'' semua bid'ah
sesat dan menyesatkan. Gerakan ini jelas mengorientasikan (memaksa) untuk
senantiasa tunduk pada pemahaman yang dangkal dan primitif dalam mema'nai assunah.
Dalam pemahaman mereka tak ada bid'ah kecuali sesat. Padahal ruh Islam
menghendaki adanya klarifikasi (penjelaan) terhadap berbagai bid'ah yang ada.
Hadits Rasulullah yang menyebutkan:
كلّ بدعة ضلالة وكلّ
ضلالة فى النار
“Setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan ada dalam neraka.”
Harus bisa dipahami
secara integral, dengan kata lain tidak semua bid'ah itu dilarang, dan harus
diberanguskan, dengan tanpa adanya peninjauan ulang kepada bid'ah yang
dimaksud. Mengutip pendapat Asy Syathibi, “Bid'ah yang dimaksud adalah suatu
cara dalam agama yang diciptakan untuk menyamai aturan syara', dengan tujuan
untuk dilaksanakan sebagai mana melakukan perintah perintah syara’.” (Al-i'tishom)
Yang dimaksud Imam Asy-Syathiby,
tentu saja cara atau metode peribadatan yang berlawanan dengan syara', dan
keluar dari kepatuhan terhadap agama. Karena bila terdapat illath (alasan)
pendukung untuk dilaksanakannya bid'ah tersebut, tidak menutup kemungkinan
menjadikannya sebagai bid'ah yang wajib. Atau faktor yang ada sejalan dengan
dengan dalil-dalil assunah, maka dapat pula dianalogikan sebagai bid'ah
hasanah, sesuai dengan kaidah ushul fiqh: (الحكم يدور مع علته
وجودا وعدما). Hukum itu
berputar sesuai illatnya ada atau tidak. Pendek kata pengertian bid'ah
tidaklah statis atau baku
dalam satu pengertian, semuanya dapat berubah secara dinamis, dan berkembang
sesuai illat yang mendukung terciptanya bid'ah tersebut.
Sebuah contoh kecil yang
sering diungkap dalam kitab turast adalah shalat tarawih berjama'ah,
yang tak ada pada zaman Rasullah. Ritual ini biasa dilakukan oleh masing-masing
individu, baru kemudian pada zaman Umar RA. kaum muslimin dikumpulkan untuk
melaksanakan shalat tarawih berjama'ah. Kebijakan ini tidak bisa dianggap
bida'ah, karena bila itu terjadi, maka berarti para sahabat telah melakukan
kejahatan [dosa] secara kolektif. Padahal banyak hadist yang menyebutkan,
mereka adalah hamba yang taat. Bahkan ada yang sudah dijamin masuk surga. Maka
sangat mustahil sekali bila mereka tidah mengindahkan larangan yang berasal
dari Rasulallah SAW.
Seharusnya umat Islam
mampu memahami sabda Nabi Muhamad dengan cermat, komprehensif dan integral, tidak
secara parsial ataupun setengah-setengah. Pendek kata Khulafa-Arrasyidun saja,
sebagai penerus etos kenabian tidak pernah memandang semua bid'ah buruk, dan
harus diberangguskan. Lihat saja perkatan Umar RA. Mengenai shalat tarawih, “Sebaik-baiknya
bid'ah ini.”
Syeh Ali Mahfudh, mufti
Al-Azhar, dalam kitabnya "Al Ibda' fi madhor-al-ibtida'" menjelaskan
dengan maksud yang sama: “Bid'ah yang dilarang adalah perkara yang
bertentangan dengan Al-Quran ,hadist dan ijma' tapi bila perkara itu sejalan
dengan maqoshid as-syari'ah, maka bisa dilegalkan."
Walaupun bid'ah hasanah
diperbolehkan sumbernya harus jelas, dan diambil dari Al-Quran, penjelasan dari
assunah dan keterangan dari para sahabat. Jika keterangan itu telah disepakati,
maka tak ada alasan bagi seseorang untuk menentang ataupun meninggalkannya.
Namun jika keterangan tersebut masih diperselisihkan, maka harus di tarjih
dulu mana pendapat yang lebih kuat.
Konklusinya, siapapun
yang menambahkan sesuatu yang baru dalam agama (bid'ah), tanpa pijakan
hukum yang jelas, atau malah bertentangan dengan induk dasar syariat Islam,
maka jelas orang itu telah merendahkan nash Al-Quran dan menghina penjelasan
dari Rasulallah. Serta menuduh Nabi Muhammad S.A.W. telah korupsi dan
berkhianat terhadap risalah, padahal Allah SWT telah berfiman:
اليوم أكملت
لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام ديناً. [المائدة : 3]
Pada hari ini telah
Kusempurnakan agama kalian, dan Kusempurnakan pula ni'mat-nikmat kalian, dan Kuridhoi
Islam sebagai agama kalian.
Sesuatu yang baru dalam
agama dan peribadatan, jelas tidak diperbolehkan, apapun alasannya, walaupun
dengan dalih apa yang dilakukan sebagai mediator (wasilah), untuk lebih
mendekatkan diri pada Allah. Orang Arab misalkan, di waktu permulaan kufur
mereka adalah membuat patung sebagai mediator untuk lebih mendekatkan diri pada
Allah. Al-Quran sendiri menyebutkan dalih mereka:
ألا لله الدين
الخالص والذين اتّخذوا من دونه أولياء ما نعبدهم إلاّ ليقرّبونا إلى الله زلفى إن
الله يحكم بينهم في ما هم فيه يختلفون. إن الله لا يهدي من هو كاذب كفّار. [الزمر : 3]
“Ingatlah, Hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang pendusta dan sangat ingkar.”